Sekolah Tinggi Manajemen Asuransi (STMA) Trisakti mewisuda 106 lulusan program Strata (S-1) dan Diploma (D3) pada Sidang Terbuka Senat STMA Trisakti Wisuda Angkatan XXVII di Jakarta, 13 Desember 2018. Sesuai dengan ketentuannya, sebagaimana yang diatur dalam Permenristekdikti Nomor 257/M/KPT/2017, para wisudawan berhak menyandang gelar Sarjana Manajemen (S.M) untuk program sarjana, dan Ahli Madya Aktuaria (A.Md.Aktr) untuk program diploma tiga. Sebanyak 77 persen dari total para wisudawan telah bekerja di industri perasuransian. Dan sisanya akan memperoleh pekerjaan dengan masa tunggu kurang dari tiga bulan.
Hingga akhir 2018, STMA Trisakti mencatatkan lulusannya sebanyak 3.079 alumni, terhitung sejak lulusan pertama dari peserta didik di tahun 1992, saat itu masih bernama AKASTRI. Sebagian besar dari para alumni tersebut telah berkiprah di industri perasuransian, mulai dari sebagai underwriter, ahli manajemen risiko, klaim analis atau penilai kerugian, aktuaris, pengembang dan pemasar asuransi, hingga berkarier sebagai broker asuransi/reasuransi. Bahkan, sebagian mereka ada yang telah menempati posisi kunci di beberapa perusahaan asuransi sebagai eksekutif di level tertentu.
Ketua STMA Trisakti Ariyanti Suliyanto mengatakan di era revolusi industri 4.0, metode pembelajaran dalam dunia pendidikan perlu diubah. Selain yang serba digital, juga pola pikir serta pengembangan bakat ke arah yang lebih inovatif. Komite Pendidikan Dewan Asuransi ASEAN (ASEAN Insurance Council), telah mendiskusikan masterplan bersama ASEAN Insurance Education Committee terkait identifikasi serta mengatasi kesenjangan di bidang asuransi di ASEAN dengan menetapkan standar minimum di tingkat ASEAN yang diharapkan dapat mewujudkan harmonisasi dan kerja sama antarnegara ASEAN.
Ariyanti melanjutkan, lembaga pendidikan asuransi di Indonesia harus dapat berkolaborasi untuk menyusun strategi baru, tentunya dengan dukungan penuh dari semua pihak, seperti asosiasi asosiasi perasuransian, OJK, Yayasan Pendidikan, LLDIKTI Wilayah III, dan Kemenristekdikti. Industri perasuransian, tambahnya, merupakan usaha yang sangat menjanjikan. Mengingat jasa asuransi tetap dibutuhkan dalam memenuhi kebutuhan individu, perlindungan masyarakat, pengelolaan ketidakpastian usaha, perekonomian, serta aset negara. “Perlu dicermati adanya pergeseran dalam sistem penyelenggaraan perusahaan ke arah digitalisasi. Oleh karena itu, para wisudawan diharapkan dapat memberikan kontribusi nyata pada kemajuan industri, yaitu dengan terus meningkatkan kompetensi agar tetap dapat memenuhi tuntutan kebutuhan di zamannya,” ungkapnya.
Turut hadir pada acara tersebut memberikan kata sambutan, Direktur Pengawasan Asuransi dan BPJS Kesehatan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Ahmad Nasrullah yang mengatakan bahwa kebutuhan sumber daya manusia di industri asuransi masih sangat tinggi. Dan para wisudawan STMA, terangnya, termasuk orang-orang yang dikhususkan berperan untuk meningkatkan industri perasuransian di Indonesia.
Nasrullah mengatakan bahwa potensi bisnis asuransi di tanah air masih sangat besar. Hal itu ditunjukkan oleh rendahnya penetrasi dan pertumbuhan asuransi di Indonesia jika dibandingkan dengan jumlah GDP secara nasional. Itu berarti, lanjutnya, potensi asuransi itu masih sangat besar dan membutuhkan sumber daya manusia yang tidak sedikit. “Kalau boleh dibilang datanya, penetrasi asuransi di Indonesia masih di bawah tiga persen. Jadi masih jauh dibandingkan dengan negara-negara lain, termasuk ASEAN. Apalagi melihat populasi kita sangat besar. Dan saat ini, dapat dilihat banyak orang-orang yang di sektor perbankan pindah ke asuransi,” ungkap Nasrullah.
Hadir memberikan orasi ilmiah pada kesempatan tersebut, Kepala Pusat Kebijakan Pembiayaan Perubahan Iklim dan Multilateral-BKF Parjiono, yang memaparkan Strategi Pembiayaan dan Asuransi Risiko Bencana Indonesia. Dalam pembahasannya, Parjiono mengutarakan beberapa topik terkini dalam perkembangan ekonomi domestik dan global terkini serta strategi penanganan bencana dan biaya penanggulangan risikonya.
Dalam pengembangan Disaster Risk And Finansing Insurance (DFRI), katanya, ada beberapa hal utama yang mesti diperhatikan oleh pemerintah, diantaranya identifikasi permasalahan risiko dan skema pembiayaan bencana. Kemudian menetapkan prioritas penanganan dan selanjutnya adalah mengembangkan strategi komprehensif. “Strategi pembiayaan dan asuransi risiko bencana disusun berdasarkan pendekatan menyeluruh dan terintegrasi dengan kebijakan menajemen risiko bencana yang telah ada,” ungkap Parjiono. B. Firman
| Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News