Media Asuransi, JAKARTA – Di tengah dominasi penduduk usia produktif yang mencapai lebih dari 65 persen dari total populasi, Indonesia sebenarnya memiliki potensi besar untuk mendorong pertumbuhan ekonomi melalui partisipasi aktif di pasar modal. Namun, potensi ini belum tergarap optimal.
Salah satu penyebab utamanya adalah rendahnya literasi investasi di kalangan masyarakat. Ketergantungan terhadap uang tunai yang dengan akses yang mudah masih sangat tinggi, sebuah kebiasaan yang membuat banyak orang melewatkan peluang pertumbuhan kekayaan jangka panjang melalui pasar modal.
|Baca juga: BI Dorong Penguatan Keberdayaan Pekerja Migran Melalui Literasi dan Inovasi Keuangan Digital
Asia Care Survei 2025 yang dilakukan Manulife, sebuah survei seputar kesiapan hari tua dari lebih dari 9,000 responden berusia 25 tahun ke atas (termasuk 60+) di Indonesia, China, Hong Kong, Taiwan, Jepang, Singapura, Malaysia, Filipina, dan Vietnam, terungkap bahwa tabungan masih begitu diandalkan oleh sebagian besar orang Indonesia.
Bahkan, secara rata-rata responden Indonesia menempatkan 49 persen aset tunainya dalam bentuk simpanan konvensional. Beratnya porsi tunai yang nyaris tak memberikan potensi pertumbuhan ini, jelas membatasi pertumbuhan kekayaan individu-individu dan keluarga-keluarga di Indonesia.
|Baca juag: Perkembangan Indikator Stabilitas Nilai Rupiah
Simpanan tunai, seperti tabungan, baik dijadikan sarana transaksi, wadah untuk dana yang disiapkan untuk keperluan jangka pendek dan dana darurat, karena aksesnya yang mudah, sangat likuid dan cepat. Akan tetapi, dari sisi pertumbuhan, simpanan konvensional memang hanya menawarkan bunga yang sangat terbatas.
CEO dan Presiden Direktur PT Manulife Aset Manajemen Indonesia (MAMI), Afifa, menjelaskan bahwa jika alokasi pada simpanan tunai terlalu banyak, maka peluang kita untuk menumbuhkan kekayaan menjadi lebih terbatas. “Untuk menikmati peluang lebih, kita bisa menggunakan alternatif-alternatif seperti saham, obligasi dan reksa dana, tentunya dengan strategi perencanaan investasi yang baik,” katanya dalam keterangan resmi yang dikutip Senin, 1 September 2025.
|Baca juga: Pakai Prabayar Atau Pascabayar? Ini Keuntungan dan Kerugiannya
Dengan sebaran portofolio yang ada saat ini, setengah harta orang Indonesia disimpan dalam bentuk tunai, sementara sisanya baru ditempatkan di beragam instrumen seperti saham, obligasi, dan reksa dana, kekayaan orang Indonesia hanya memberikan peluang tumbuh sekitar empat persen per tahun, dan nyaris tak mampu mengalahkan inflasi.
Dengan mengubah alokasi simpanan tunai menjadi 10 persen, lalu sisanya disebarkan pada saham, obligasi dan saham, potensi return portofolio dapat meningkat hingga lebih dari sembilan persen per tahun. Perhitungan ini menggunakan data kinerja historis pasar modal selama 20 tahun terakhir.
Kustodian Sentral Efek Indonesia (KSEI) merilis data pertumbuhan investor pasar modal sebanyak 11,4 persen selama Januari-Mei 2025. Pertumbuhan ini cukup merata disumbang pertumbuhan jumlah investor saham, obligasi dan reksa dana secara persentase.
Angka pertumbuhan ini cukup sejalan dengan pertumbuhan di tahun-tahun sebelumnya, yaitu 18 persen sepanjang tahun 2023 dan 22 persen sepanjang tahun 2024. Saat ini 16,6 juta penduduk Indonesia sudah menjadi investor pasar modal. Ini merupakan titik tolak yang baik menuju pertumbuhan kekayaan.
“Walaupun begitu, ada tantangan yang perlu diatasi terlebih dulu, yaitu edukasi dan informasi yang benar. Dengan edukasi yang baik, dan disampaikan oleh tenaga-tenaga bersertifikasi, diharapkan masyarakat Indonesia dapat menggali potensi pasar modal secara optimal dan tepat sesuai tujuan hidup, dan menikmati hasilnya di hari esok,” jelas Afifa.
Editor: S. Edi Santosa
| Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News