1
1

Saatnya Investor Melirik Sektor Komoditas EBT yang Jadi Primadona

Media Asuransi, JAKARTA – Berbicara mengenai new economy di Indonesia, sektor komoditas terkait Energi Baru Terbarukan (EBT) menjadi salah satu primadona, terutama nikel sebagai bahan baku untuk pembuatan baterai. Seberapa menariknya prospek EBT ini untuk Indonesia?

“Sangat menarik, terutama melihat peran Indonesia yang penting dalam rantai pasokan dunia sebagai penghasil utama bahan baku berbagai teknologi EBT,” kata Equity Analyst PT Manulife Aset Manajemen Indonesia (MAMI), Stifanus Sulistyo, dalam keterangan resmi yang dikutip Media Asuransi, Sabtu, 18 Juni 2022.

Menurut dia, Indonesia unggul baik dari sisi jumlah produksi maupun jumlah cadangan nikel. Diperkirakan pula kontribusi sektor EBT terhadap pertumbuhan ekonomi dan pasar modal akan semakin besar.

Dibandingkan dengan sumber energi berbahan bakar fosil, produksi EBT saat ini -seperti misalnya tenaga surya dan tenaga air- masih memiliki masalah yaitu konsistensi hasil produksinya dipengaruhi oleh faktor cuaca yang tidak dapat dikontrol. Nah, di sinilah peran produk baterai menjadi sangat penting sebagai buffer, untuk menyimpan energi cadangan untuk mengatasi kebutuhan daya yang kurang stabil yang dihasilkan oleh EBT tadi.

|Bacaa juga: MARKET REVIEW: Saham-Saham Komoditas Dorong Penguatan IHSG

“Nikel, sebagai salah satu komponen utama dalam katoda baterai tipe NCM (nickel cobalt manganese) akan semakin dibutuhkan, seiring semakin meningkatnya penggunaan EBT di seluruh dunia,” jelas Stifanus Sulistyo.

Sebenarnya ada beberapa tipe katoda baterai, dua yang paling populer saat ini adalah NCM dan LFP (lithium iron phosphate). Katoda NCM memiliki kapasitas yang lebih tinggi, namun lebih mahal karena harga bahan bakunya yang terus meningkat. “Kita melihat, dengan pesatnya permintaan kendaraan listrik, kedua jenis katoda ini akan digunakan untuk pasarnya masing-masing,” tuturnya.

Melanjutkan pertanyaan sebelumnya, selain nikel tadi, adakah komoditas lain yang dihasilkan oleh Indonesia yang menjadi komponen penting dalam produksi EBT?

Jawabannya: tembaga. Logam ini dipakai sebagai bahan baku kabel karena sifatnya sebagai konduktor atau sebagai penghantar listrik yang sangat baik. Tren adopsi kendaraan listrik juga diperkirakan akan meningkatkan permintaan tembaga karena penggunaan logam ini di kendaraan listrik akan lebih banyak dibandingkan dengan penggunaannya pada kendaraan berbahan bakar bensin sistem ICE (internal combustion engine). “Dan, lagi-lagi tren ini menguntungkan Indonesia, karena kita memiliki beberapa aset tembaga yang menarik dengan kandungan mineral tinggi,” tegas Stifanus.

Beralih ke sektor lain. Di tengah peningkatan inflasi dan tantangan lain yang mempengaruhi kelancaran distribusi rantai pasokan dan berdampak besar terhadap harga komoditas dunia, bagaimana peluang sektor konsumer?

MAMI memperkirakan kinerja sektor konsumer cenderung kurang bergairah dikarenakan tekanan biaya produksi dan daya beli. Dari sisi daya beli, inflasi akan menekan daya beli, namun akan sedikit diredam oleh peningkatan aktivitas ekonomi yang akan meningkatkan perputaran bisnis.

|Bacaa juga: Hai Investor, Atur Strategi Investasimu Saat Pasar Global Volatile

Sementara itu, perusahaan konsumer juga menghadapi peningkatan biaya produksi yang akan membutuhkan kenaikan harga jual, jika produsen ingin menjaga profitabilitas. Perusahaan dengan pricing power, biasanya karena memiliki merek yang kuat dan basis konsumen yang loyal, akan lebih mudah meningkatkan harga tanpa mengurangi volume penjualan.

Meningkatnya kebutuhan masyarakat akan data internet membuat sektor telekomunikasi diasosiasikan sebagai ‘the new consumer staple’. Kompetisi perusahaan telekomunikasi cukup kondusif dan berangsur bergerak ke arah yang lebih baik. Apalagi baru saja terjadi konsolidasi antara dua pemain penting, yaitu Indosat dan Hutchinson, yang cenderung akan mengurangi kompetisi di kemudian hari yang akan berdampak positif pada persaingan harga.

Sementara itu dari sisi permintaan konsumen, sedikit banyak akan tetap dipengaruhi oleh daya beli dan tren gaya hidup ke depannya. MAMI melihat sektor ini akan membukukan kinerja yang stabil dan cenderung bertumbuh. Namun dari sisi valuasi, model bisnisnya yang padat modal sedikit banyak akan terpengaruh oleh sentimen kenaikan suku bunga global.

|Bacaa juga: Kunci Kesuksesan Investasi Warren Buffet

Untuk perusahaan infrastruktur telekomunikasi (menara telekomunikasi), dalam jangka pendek akan mendapat tantangan dari berkurangnya operator telekomunikasi karena konsolidasi. Di lain pihak, hal ini juga akan memperkuat permintaan di jangka panjang karena konsolidasi dapat meningkatkan kapasitas belanja modal.

Menggalakkan pembangunan infrastruktur adalah salah satu cara untuk jump start yang sering digunakan oleh berbagai pemerintah di dunia untuk memacu pertumbuhan ekonomi. Lewat pembangunan infrastruktur, akan terjadi trickle-down effect yang besar terhadap perekonomian keseluruhan, lewat penciptaan lapangan kerja, penanaman modal, serta kelancaran produksi maupun distribusi barang dan jasa, yang pada akhirnya akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan pemerataan kesejahteraan masyarakat.

“Untuk Indonesia, kita melihat tantangan sektor ini adalah sisi pendanaannya. Kita juga melihat pelaku usaha dan pemerintah sudah aktif untuk mencari cara menyelesaikan masalah pendanaan ini. Solusi pendanaan masih terus didiskusikan, salah satu usaha yang dilakukan adalah mendirikan Indonesia Investment Authority (INA) yang diharapkan akan dapat menjadi sumber dana ke depan,” kata Stifanus Sulistyo.

Sementara itu mengenai outlook earnings perusahaan Indonesia di tahun ini, menurut Equity Analyst MAMI ini, laporan keuangan kuartal pertama rata-rata cenderung kuat, hasilnya sesuai ekspektasi atau cenderung lebih baik. Di kuartal kedua, pemulihan aktivitas ekonomi dan dampak musiman perayaan lebaran masih akan membantu earnings perusahaan.

“Untuk paruh kedua 2022, kita masih perlu terus melihat seberapa besar dampak dari inflasi terhadap daya beli dan profitabilitas perusahaan, walaupun sampai saat ini kami memperkirakan inflasi, walaupun meningkat, secara relatif tetap lebih baik dibandingkan dengan negara-negara lain atau dibandingkan dengan Indonesia sendiri di masa lalu saat The Fed melakukan pengetatan moneter,” jelas Stifanus Sulistyo.

| Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Related Posts
Prev Post Premi Asuransi Umum Q-1/2022 Tumbuh 7,9 Persen YOY
Next Post Allianz Singapura Terapkan Solusi Klaim Terbaik dari Fermion Group

Member Login

or