Media Asuransi, JAKARTA – Setiap menjelang Hari Raya Nyepi, masyarakat Bali meramaikan tradisi arak-arakan Ogoh-Ogoh, sebuah karya seni berbentuk patung raksasa yang menggambarkan Bhuta Kala, simbol kekuatan alam dan waktu dalam ajaran Hindu Dharma.
Tradisi ini telah menjadi bagian tak terpisahkan dari budaya Pulau Dewata, meskipun sebenarnya tidak memiliki keterkaitan langsung dengan ritual utama Nyepi.
|Baca juga: Profil Dwi Wahyudi, Direktur Pelaksana LPEI yang Terseret Kasus Korupsi!
|Baca juga: Eks Member GFriend Yerin Diam-diam Kerja di Perusahaan Asuransi Selama 2 Tahun!
Melansir dari berbagai sumber, Jumat, 28 Maret 2025, Ogoh-Ogoh berasal dari kata ‘ogah-ogah’, yang dalam bahasa Bali berarti sesuatu yang digoyang-goyangkan. Sejarah mencatat tradisi ini mulai berkembang pada 1983, ketika pemerintah menetapkan Hari Raya Nyepi sebagai libur nasional.
Sejak saat itu, masyarakat Bali mulai membuat berbagai wujud Bhuta Kala yang kemudian diarak dalam ritual Pangrupukan, sehari sebelum Nyepi. Secara umum, Ogoh-Ogoh digambarkan sebagai sosok mengerikan, sering kali dalam wujud Rakshasa atau makhluk mitologi lainnya seperti naga, gajah, widyadari, hingga tokoh-tokoh terkenal.
Bahkan, dalam perkembangannya, beberapa Ogoh-Ogoh dibuat menyerupai figur politik, artis, atau sosok kontroversial lainnya. Kreativitas masyarakat Bali dalam menciptakan Ogoh-Ogoh menjadikan tradisi ini bukan hanya ritual keagamaan, tetapi juga seni pertunjukan yang menarik perhatian wisatawan.
Meskipun erat dengan perayaan Nyepi, namun Ogoh-Ogoh sebenarnya bukan bagian dari upacara wajib dalam ritual tersebut. Tradisi ini lebih merupakan ekspresi budaya yang berkembang secara spontan di masyarakat. Setelah diarak keliling desa dengan iringan gamelan Bleganjur, Ogoh-Ogoh biasanya dibakar sebagai simbol pembersihan diri dan alam dari energi negatif.
|Baca juga: 8 Orang Terkaya RI Bertemu Prabowo di Istana, Ini yang Dibahas!
|Baca juga: Bos BRI Borong Saham BBRI Senilai Rp772,46 Juta, Ternyata Ini Tujuannya!
Dari perspektif filsafat Hindu, arak-arakan Ogoh-Ogoh melambangkan kesadaran manusia terhadap dua kekuatan besar, yaitu Bhuana Agung (alam semesta) dan Bhuana Alit (diri manusia). Kedua kekuatan ini dapat membawa kehidupan menuju kebahagiaan atau kehancuran, tergantung pada bagaimana manusia mengelolanya dengan niat yang luhur.
Lebih dari sekadar simbol keagamaan, Ogoh-Ogoh juga mencerminkan dinamika sosial dan budaya masyarakat Bali. Tradisi ini menjadi wadah bagi generasi muda untuk menyalurkan kreativitas dan memperkuat kebersamaan dalam komunitas.
Dengan demikian, Ogoh-Ogoh bukan hanya warisan budaya, tetapi juga media refleksi spiritual dan ekspresi seni yang terus berkembang seiring zaman.
|Baca juga: Digugat PKPU oleh Askrindo, Ricky Putra Globalindo (RICY) Buka Suara
|Baca juga: Kontrak Asuransi dengan Stop-Loss, Apakah Termasuk dalam IFRS 17?
Sebagai bagian dari perayaan Pangrupukan, Ogoh-Ogoh tetap menjadi daya tarik yang dinantikan setiap tahun. Meskipun bukan bagian mutlak dari Hari Raya Nyepi, namun kehadiran Ogoh-Ogoh menambah semarak dan memberikan warna tersendiri dalam perayaan tahun baru Saka di Bali.
Editor: Angga Bratadharma
| Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News