Media Asuransi, JAKARTA – Proses transisi energi membutuhkan upaya yang sangat kompleks yang banyak melibatkan banyak kepentingan berbagai pihak. Gangguan yang diakibatkan oleh penghentian penggunaan batubara dapat berdampak pada sebagian besar pemangku kepentingan energi/listrik.
Di sisi lain, memastikan kepentingan masyarakat yang masih belum memperoleh akses listrik yang handal dari sisi kualitas dan kuantitas tidak makin tertinggal karena prioritas target transisi energi batubara skala besar. Karena itu, transisi tersebut perlu dilakukan dengan cara yang adil di mana keterlibatan seluruh pemangku kepentingan terutama kelompok yang paling terdampak harus dilibatkan sejak awal, proses yang inklusif perlu menjadi prasyarat untuk menerapkan transisi energi yang lancar,efektif dan berkeadilan.
Anggota Dewan Energi Nasional (DEN), Satya Widya Yudha menyatakan bahwa DEN saat ini tengah menyusun RPP Kebijakan Energi Nasional yang didalamnya juga memuat skenario transisi energi. “Kita membutuhkan dukungan untuk memberikan masukan dan memperkaya strategi-strategi transisi energi yang mungkin dilakukan”, ujarnya dalam keterangan resmi yang dikutip Kamis, 5 Oktober 2023.
|Baca juga: Indonesia Kerja Sama dengan AIIB Guna Percepat Transisi Energi
Sementara itu, Studi Transisi Energi Berkeadilan mengidentifikasi masih rendahnya penerapan prinsip ‘Keadilan’ dalam perencanaan transisi energi di Indonesia saat ini. Beberapa entitas seperti organisasi non-pemerintah, lembaga penelitian independen, perusahan listrik negara, dan perusahaan pertambangan besar menunjukkan tingkat kesiapan yang lebih tinggi.
Pemerintah, meskipun berperan paling penting, menunjukkan kesiapan yang relatif lebih rendah. Salah satu tantangan utama adalah belum adanya kebijakan Transisi Energi Berkeadilan yang terintegrasi, yang bisa dimulai dengan mengatur definisi dan frameworknya di Indonesia, untuk selanjutnya dirumuskan kebijakan terpadu lintas sektoral dengan partisipasi seluruh pemangku kepentingan.
Selain itu, keterlibatan inklusif dan kolaborasi lintas pemangku kepentingan masih belum terbentuk. Terkait sektor usaha, dampak perubahan operasional pembangkit listrik batubara ke energi terbarukan akan sangat signifikan, bukan hanya ke pelaku usaha tersebut, namun juga pada pemasukan pemerintah daerah dan penghidupan masyarakat sekitar baik formal dan informal.
Tata kelola yang baik, dengan prinsip transparansi dan akuntabilitas yang kuat, menjadi kunci dalam menerapkan transisi energi. Terakhir, kesenjangan dalam layanan listrik di pedesaan terpencil masih ada dan tidak bisa dipandang sebelah mata, kesenjangan ini menghambat pembangunan sosial dan ekonomi yang adil. Ini menggaris bawahi perlunya porsi investasi transisi energi dilandasi kebijakan yang adil untuk semua.
“Untuk merealisasikan transisi energi yang berkeadilan, kita harus dapat mengelola dampaknya bukan hanya dalam sektor formal tapi juga dalam sektor informal. Sebagai contoh, di daerah penghasil batu bara sangat penting untuk memikirkan dan mulai melakukan transformasi ekonomi yang rendah karbon. Semua ini harus melalui perencanaan yang matang dari nasional yg mendukung daerah. Kami merekomendasikan untuk adanya gugus tugas transisi yang berkeadilan yang terdiri dari multi-pihak bukan hanya untuk batu bara tapi jg transisi industri ekstraktif lainnya”, jelas Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif Institute for Essentival Services Reform (IESR), Fabby Tumiwa.
Editor: S. Edi Santosa
| Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News