1
1

Sektor Wisata Diharap Jadi Pendorong Pertumbuhan Ekonomi

  Komisaris Independen PT Bank Central Asia Tbk (BCA) Cyrillus Harinowo menilai, desa wisata dapat menjadi salah satu tumpuan bagi pemerintah untuk mendorong pertumbuhan ekonomi sekaligus pengembangan usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) di Indonesia. Hal ini disampaikan Cyrillus saat berbicara dalam diskusi ‘Kafe BCA on The Road’ yang diselenggarakan oleh BCA di Yogyakarta, 22 September 2018. Dalam cara yang diikuti sekitar 30 wartawan dari Jakarta dan Yogyakarta tersebut, hadir juga sebagai pembicara adalah pengamat ekonomi dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta Tony Prasetiantono dan Direktur Utama Badan Otoritas Borobudur Indah Juanita.
Corporate Secretary BCA Jan Hendra saat membuka acara diskusi mengatakan bahwa kegiatan ini memang menjadi lanjutan Kafe BCA yang biasa digelar di Menara BCA Jakarta. Menurutnya, ini pertama kali diselenggarakan Kafe BCA on the Road, yakni di Yogyakarta karena dinilai sesuai tema pariwisata yang diusung. Tujuannya, agar para peserta merasakan secara langsung bagaimana potensi pariwisata dapat mengembangkan potensi daerah.
Sementara itu Cyrillus Harinowo yang juga Ekonom senior menyatakan bahwa Yogyakarta membuka potensi penambahan jumlah wisatawan mancanegara (wisman) yang tinggi. “Gunung Kidul saat ini menjadi salah satu destinasi teratas bagi turis yang datang ke Yogyakarta, dengan daya tarik utama Goa Pindul dan kawasan pantainya,” katanya. Dia menuturkan, Goa Pindul, hanya salah satu saja dari sekian destinasi wisata di Gunung Kidul.
Sebelumnya, saat berdiskusi dengan wartawan di Desa Bejirejo, Kec. Karangmojo, Gunung Kidul, Yogyakarta, Executive Vice President Corporate and Social Responsibility BCA Inge Setiawati mengatakan bahwa saat ini pihaknya melakukan pembinaan di 12 desa wisata yang tersebar di Jawa, Bali, Sumatera, hingga Bangka Belitung. Di Desa Bejirejo inilah ada Goa Pindul yang menjadi salah satu destinasi unggulan di Gunung Kidul. Di desa ini pula BCA membina sekelompok pemuda yang tergabung dalam karang taruna setempat, hingga kemudian menjadi salah satu operator wisata Goa Pindul dengan nama Wirawisata. “Pembinaan yang dilakukan BCA diantaranya, pelatihan softskill dalam mengelola tempat pariwisata, bantuan sarana dan infrastruktur, serta instalasi mesin electronic data capture (EDC) untuk transaksi wisatawan selama berwisata,” katanya.
Sementara itu Cyrillus Harinowo yang banyak terlibat dengan pembinaan desa wisata menjelaskan bahwa Wirawisata Goa Pindul dimulai dari nol. “BCA membantu untuk melatih dan membentuk sumber daya yang dapat mengelola, merawat, dan mempromosikan untuk menjadi daerah tujuan wisata. Pendapatan per bulan Rp500 Rp600 juta. Ini hasil konkret masyarakat. Jadi ini satu dampak ekonomi yang luar biasa,” paparnya.

Potensi Devisa
Saat ditanya mengenai besarnya potensi devisa riil yang masuk dari sektor pariwisata ini, Cyrillus mengatakan bahwa rata-rata pendapatan devisa dari satu orang wisman adalah 1.100 dolar AS. Pada tahun 2018 ini jumlah wisman yang masuk ke Indonesia diharapkan mencapai 17 juta, sehingga potensi pemasukan devisanya mencapai 18,7 miliar dolar AS. “Mungkin selama 2018 ini kita akan mencapai di atas 16 juta, mudah-mudahan dapat 17 juta turis. Target 2019 mencapai 20 juta turis,” ujarnya.
Dalam kesempatan yang sama, Tony Prasetiantono mengatakan Indonesia tengah memasuki proses experience economy. Artinya, semua orang berkeinginan untuk mengalami dan merasakan sensasi-sensasi yang ditawarkan. Dia optimistis sektor pariwisata di dalam negeri akan berkembang lebih besar dan menopang pertumbuhan ekonomi nasional. “Kami membutuhkan pertumbuhan ekonomi dengan sektor pariwisata. Saya optimistis pariwisata akan berkembang, syaratnya adalah infrastruktur dan investasi,” katanya.
Tony Prasetiantono menilai tepat bila ada target tinggi kunjungan wisatawan pada tahun 2019 mencatang. Walau tampak sulit, target itu yang secara tidak langsung akan menjadikan jalur-jalur pariwisata sebagai pendorong ekonomi di Indonesia. Demi mewujudkan itu, sudah tentu perlu infrastruktur dan entrepreneur. Sebab, jika satu daerah memiliki potensi wisata yang tinggi tetapi tidak ada investasi di dalamnya, sangat sulit untuk mendulang ketertarikan wisatawan. “Itu yang terjadi di Bali, life of stay tinggi karena banyak atraksi. Kalau Yogyakarta maksimal dua hari life of stay-nya, itu karena atraksinya kurang banyak,” ujar Tony. S. Edi Santosa

| Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Related Posts
Prev Post Sinergi Formaksi dan RS Hermina Group Untuk Perluas Layanan CoB BPJS Kesehatan
Next Post Temukan Manfaat Berasuransi Melalui Pialang

Member Login

or