Media Asuransi, JAKARTA – Bank Indonesia (BI) mempertahankan tingkat suku bunga kebijakan di bawah 3,5%, terendah sampai saat ini, didukung oleh perekonomian domestik yang tangguh, kendati ketidakpastian global berlanjut.
Proyeksi pertumbuhan global sendiri dipangkas hingga 3,8-4,2% dari 4,4%, namun perkiraan untuk Indonesia tidak berubah di angka 4,7-5,5%, didukung oleh harapan permintaan domestik akan membaik dan ekspor lebih kuat.
Baca juga: Industri Asuransi Jiwa Tumbuh 11,9 Persen pada Kuartal IV/2021
Risiko geopolitik dianggap sebagai keuntungan maupun kerugian karena harga minyak lebih tinggi dibarengi dengan dengan kenaikan harga kelompok komoditas lain, termasuk minyak kelapa sawit, batu bara, dan logam, meningkatkan keuntungan dari neraca perdagangan Indonesia.
Terkait inflasi, BI menyadari bahwa pengendalian harga dan subsidi telah membatasi dampak pergerakan energi global terhadap inflasi domestik. Inflasi pada 2022 diperkirakan berada di kisaran sasaran 2-4%. Namun, pembuat kebijakan akan tetap memantau setiap penyesuaian harga bahan bakar atau tarif listrik dalam beberapa bulan mendatang, mengingat pengalaman masa lalu (misalnya 2008 dan 2013) saat subsidi energi meningkat dan neraca perdagangan melemah membuat bank sentral melakukan tindakan agresif.
Dalam waktu dekat, BI akan meminta pemerintah untuk melakukan intervensi untuk mengelola pasokan makanan dan kenaikan harga saat kita memasuki periode Ramadhan pada April-Mei. Dengan sebagian besar tekanan berasal dari kekurangan di sisi pasokan, BI cenderung akan fokus pada inflasi inti, yang juga berada di titik bawah kisaran target inflasi.
Baca juga: Potret 10 Tahun Perjalanan OJK, What’s Next?
Terkait likuiditas, BI memperkirakan kenaikan bertahap tingkat cadangan wajib minimum akan menguras Rp156 triliun dari likuiditas sistem perbankan, lebih rendah dari yang diindikasikan sebelumnya, sebesar Rp200 triliun. Kredit diperkirakan tumbuh 6-8%.
Ramalan Kebijakan
Panduan kebijakan bank sentral menekan keharusan untuk menormalkan kebijakan dibandingkan dengan awal tahun ini, agaknya karena gejolak terbatas di pasar domestik kendati ada ketidakpastian global.
Dengan limpahan risiko geopolitik yang belum terlalu nyata pada inflasi dan kurs rupiah yang stabil (dengan kinerja terbaik di kawasan pada Maret, di angka +0,45%/$) kendati Bank Sentral AS meningkatkan retorikanya tentang kenaikan suku bunga, kemungkinan pembuat kebijakan akan menunggu waktu.
Selain itu, bahkan ketika imbal hasil meningkat, pilihan resmi yang diungkapkan adalah untuk memungkinkan obligasi disesuaikan untuk membuat tingkat (imbal hasil) lebih menarik bagi investor, termasuk investor asing.
Dari sisi kebijakan, BI kemungkinan akan menahan diri hingga paruh kedua tahun ini, ketika risiko material terhadap inflasi mungkin muncul karena penyesuaian harga yang diatur dan kondisi keuangan mengetat karena kenaikan suku bunga AS secara berturut-turut, serta langkah-langkah untuk menyusutkan neraca keuangan Bank Sentral AS.
“Kami menunda perkiraan kami untuk awal kenaikan suku bunga ke paruh kedua – satu kenaikan pada triwulan ke-3 dan dua kenaikan pada triwulan ke-4, yang akan membuat suku bunga acuan bertengger di angka 4,75% pada akhir tahun. Pakar Strategi FX kami memperkirakan harga jual dolar AS, selama dua triwulan ke depan, akan menahan tingkat kenaikan rupiah, dengan nilai tukar dolar AS terhadap rupiah melampaui 14.600 sebelum menjadi stabil pada tahun depan,” jelas Senior Economist DBS Group Research, Radhika Rao seperti dikutip dalam keterangan pers Senin (4/4).
Implikasi Rusia-Ukraina
Tiga minggu setelah invasi Rusia ke Ukraina, sentimen risiko telah menjadi stabil setelah fase penuh gejolak. Pasar komoditas paling diuntungkan oleh guncangan itu karena harga minyak naik ke tingkat tertinggi dalam lebih dari satu dasawarsa meskipun sejak itu telah terkoreksi sebesar >20% walau masih pada tingkat lebih tinggi dibandingkan dengan 2021.
Kenaikan harga komoditas setelah kekacauan geopolitik mendukung neraca perdagangan eksternal Indonesia dan memperkuat ketahanan ekonomi di tengah pergeseran arah kebijakan global. Kami memperkirakan dampak inflasi yang dihasilkan akan diimbangi oleh intervensi domestik dengan BI juga diperkirakan akan menormalkan kebijakan meskipun lebih lambat yang dari diramalkan untuk Bank Sentral AS. Aha
| Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News