Media Asuransi – Perkiraan pemerintah bahwa ekonomi Indonesia sepanjang 2020 bakal minus 1,7 persen hingga 0,6 persen, sehingga ancaman resesi makin nyata. Dalam situasi seperti ini, apa yang harus dilakukan oleh investor saham dan surat berharga negara (SBN)?
Kepala Makroekonomi dan Direktur Strategi Investasi PT Bahana TCW Investment Management Budi Hikmat menyatakan ada baiknya investor mencermati tiga indikator. Pertama, pertumbuhan M1 (uang kartal plus giral) yang mencerminkan daya beli terkait dengan percepatan realisasi stimulus. Kedua, apakah investor asing kembali masuk ke dalam SBN. Dan ketiga apakah terlihat indikasi penyaluran kredit.
Covid-19 dan Potensi Resesi Ekonomi di 2020
“Indikator pertama terus membaik yang ditopang oleh percepatan penyaluran dana bantuan sosial. Sementara indikator kedua naik secara gradual yang menghalangi penguatan rupiah. Sayangnya, indikator ketiga masih menunjukkan perlambatan. Padahal indikator ini yang paling penting untuk memacu pertumbuhan ekonomi dan menopang cuan saham,” ungkap Budi Hikmat dalam siaran pers yang dikutip Media Asuransi pada Rabu, 30 September 2020.
Budi berharap pemerintah terus memacu realisasi stimulus pos dukungan kesehatan, insentif usaha UMKM dan penjaminan kredit hingga akhir tahun. Secara statistik setiap bulan Desember umumnya selalu hijau. Bursa saham kemungkinan akan bergerak turun naik pada interval tertentu (side–ways) akibat faktor eksternal. “Saat ini investor mengantisipasi sekira ada kerusuhan dalam pelaksanaan Pilpres Amerika Serikat,” katanya.
Tips dan Jurus UMKM dapat Bertahan di Masa Pandemi Covid-19
Bagi investor awam yang tidak tahan volatilitas, Budi menyarankan tetap bersikap defensif dengan berinvestasi pada reksa dana pasar uang dan SBN. Sementara itu, bagi investor yang ahli, Budi menyarankan mencadangkan cash untuk sewaktu-waktu digunakan selektif memilih saham yang valuasinya murah.
Berbeda dengan sejumlah ekonom yang memproyeksikan pemulihan ekonomi mengikuti pola huruf U, Z, L atau W, Budi menyakini berpola huruf K.
“Investor global meyakini profil dunia pascapandemi Covid berubah drastis. Hal ini terlihat pada saham sektor teknologi informasi dan digital services seperti Apple, Amazon, Microsoft, Nvidia, PayPal dan Netflix meroket sebagai pemenang. Sementara saham perminyakan Exxon Oil, keuangan JP Morgan Chase dan Wells Fargo serta penerbangan Boeing terjerembab sebagai pecundang. Perbedaan kinerja tajam ini mirip seperti huruf K. Hal yang sama bisa terjadi di Indonesia dengan sejumlah keunikan,” jelas Budi.
Dia melanjutkan, saham telekomunikasi nasional ternyata baru dianggap kuat pada digital backbone belum digital services. Ketika terjadi PSBB lanjutan, lini bisnis utama yang masih ditopang percakapan suara dan SMS mengalami penurunan. Saham sektor konsumsi bisa diuntungkan oleh percepatan pencairan dana bansos. Saham perbankan diuntungkan setelah mereka menekan bunga deposito dan menempatkan kelebihan likuiditas yang tidak dapat disalurkan sebagai kredit dalam SBN sehingga kepemilikan mereka melebihi investor asing. Sementara itu, prospek saham CPO ditopang bila perekonomian China terus menunjukkan penguatan.
Budi menilai pelemahan rupiah saat ini berlebihan dan berharap bisa menguat hingga akhir tahun. Arus masuk modal asing tetap diharapkan mengingat suku bunga di luar negeri saat ini terbilang terendah dalam sejarah sebagai dampak stimulus masif berbagai bank sentral. ACA
| Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News