1
1

Infovesta: Reksa Dana Pasar Uang Bisa Dipertimbangkan

Media Asuransi – PT Infovesta Utama merekomendasikan investor untuk dapat mempertimbangkan reksa dana pasar uang dalam penempatan investasinya di instrumen reksa dana seiring dengan situasi tingkat suku bunga rendah.

“Untuk berjaga-jaga, investor dapat mempertimbangkan reksa dana pasar uang dan perlu memantau perkembangan kebijakan ekonomi baik secara global maupun lokal untuk mengambil posisi reksa dana berbasis saham maupun obligasi di saat mengalami tekanan,” tulis Infovesta melalui weekly Infovesta Mutual Funds Update yang dikutip Media Asuransi, Senin (22/03/2021).

Baca juga: Infovesta: Koreksi IHSG Hanya Jangka Pendek

Berdasarkan data Infovesta, reksa dana pasar uang merupakan satu-satunya indeks reksa dana yang mencatatkan kinerja positif. Terdapat tiga jenis indeks reksa dana mencetak imbal hasil negatif pada penutupan pekan lalu, dimana Kinerja IHSG turun sebesar 0,03%, diikuti oleh menurunnya kinerja Reksa Dana saham dan Reksa Dana campuran masing-masing sebesar 0,33% dan 0,07%. Selanjutnya, Kinerja Reksa Dana Pendapatan Tetap tercatat negatif sebesar 0,07% yang didorong oleh penurunan kinerja Obligasi Pemerintah sebesar 0,03%, sedangkan Obligasi Korporasi mengalami kenaikan sebesar 0,04%. Sementara itu, Reksa Dana Pasar Uang tetap mencatatkan pertumbuhan positif sebesar 0.07%.

The Federal Reserve pada rapat terakhirnya di tanggal 17 Maret 2021 memutuskan untuk tetap mengambil kebijakan dovish dan diekspektasikan mempertahankan tingkat suku bunganya mendekati nol setidaknya hingga 2023 meskipun harapan pemulihan ekonomi dan kenaikan inflasi kian meningkat. Meskipun demikian, investor masih tetap khawatir karena tidak menutup kemungkinan bahwa The Fed dapat meningkatkan tingkat suku bunga tahun depan karena terdapat ekspektasi kenaikan inflasi walaupun belum stabil. 

Baca juga: INFOVESTA: 3 Katalis Penggerak Kinerja Reksa Dana Pekan Ini

Investor juga mengkhawatirkan akan terjadinya taper tantrum. Taper tantrum bisa diartikan sebagai gejolak yang terjadi di pasar ketika bank sentral mulai mengurangi kelonggaran kebijakan karena melihat ekonomi mulai pulih seperti yang terjadi pada tahun 2013 setelah terjadinya krisis ekonomi. 

“Salah satu kelonggaran kebijakan yang dikhawatirkan terjadi adalah ketika tingkat inflasi naik, bank sentral perlu mengambil kebijakan untuk kembali meningkatkan tingkat suku bunga acuan untuk menyerap kembali uang beredar.” 

Selain itu, pada hari Jumat lalu The Fed tidak memperpanjang aturan yang akan berakhir bulan ini, yaitu pelonggaran rasio utang suplementer (supplementary leverage ratio/SLR) perbankan. Dengan tidak diperpanjangnya aturan ini, maka bank tidak lagi bisa memiliki tingkat modal lebih sedikit daripada obligasi pemerintah yang dipegang. Hal ini berdampak pada pelemahan emiten sektor bank di bursa saham Amerika Serikat pada hari Jumat lalu. 

Baca juga: Infovesta Utama: Menu Reksa Dana Terbaik Awal Tahun 2021

Selain itu, hal tersebut juga dikhawatirkan bahwa perbankan akan melakukan aksi jual obligasi sehingga membuat imbal hasil obligasi yang sedang dalam tren kenaikan menjadi semakin naik dan membuat harga obligasi semakin tertekan. 

Di Indonesia sendiri, pada tanggal 18 Maret 2021 Bank Indonesia masih mempertahankan tingkat suku bunga di level 3,50%. Keputusan ini sejalan dengan perlunya menjaga stabilitas nilai tukar Rupiah dari meningkatnya ketidakpastian pasar keuangan global, di tengah perkiraan inflasi yang tetap rendah. 

Inflasi Indeks Harga Konsumen (IHK) pada Februari 2021 tercatat sebesar 0,10% Month on Month atau 1,38% Year on Year. Inflasi inti tetap rendah sejalan dengan pengaruh permintaan domestik yang belum kuat, stabilitas nilai tukar yang terjaga, dan konsistensi kebijakan Bank Indonesia dalam mengarahkan ekspektasi inflasi pada kisaran target. 

Meskipun The Fed maupun Bank Indonesia masih mempertahankan tingkat suku bunganya, investor tetap memiliki kekhawatiran besar bahwa akan ada peningkatan inflasi yang dapat berujung pada kenaikan tingkat suku bunga acuan. Hal tersebut disebabkan oleh harapan pemulihan ekonomi yang cepat yang mulai ditunjukkan oleh perbaikan indikator ekonomi dan dimulainya peluncuran program vaksinasi. 

Apabila hal demikian terjadi, maka dapat menyebabkan pasar saham maupun obligasi bergejolak. Dari sisi pasar saham sendiri, dapat terjadi sentimen negatif pada keberlangsungan bisnis yang memiliki struktur hutang yang tinggi apabila tingkat suku bunga mengalami kenaikan. Selain itu, dari pasar obligasi sendiri, karena kemungkinan pemangkasan tingkat suku bunga sudah sangat terbatas, maka investor perlu tetap waspada akan kenaikan tingkat suku bunga di tahun depan.  Aca

 

| Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Related Posts
Prev Post IFG Cetak Laba 2020 sebesar Rp2,2 Triliun
Next Post AIA dan CIMB Niaga Luncurkan Fortuna Golden Plan

Member Login

or