Media Asuransi, JAKARTA – Kebijakan pemerintah yang menetapkan harga eceran tertinggi minyak goreng dinilai memiliki dampak beragam bagi emiten sawit.
Melalui Mirae Asset Sekuritas Indonesia Sector Update bertajuk Plantation (Overweight/Maintain) – New regulation to suppress cooking oil prices, analis Mirae Sekuritas, Juan Harahap, menjelaskan bahwa produksi CPO Malaysia tercatat lebih rendah pada tahun 2021 menjadi 18,1 juta ton (-5,2% yoy) sementara produksi CPO Indonesia mencatat produksi datar sebesar 46,9 juta ton ( -0,3% yoy) pada tahun 2021.
Untuk 2022F, dia memperkirakan pertumbuhan satu digit pada kelapa sawit Indonesia produksi minyak sebesar 4,5% yoy mengingat produktivitas yang rendah akan bertahan di 2022F. Untuk Malaysia, dia memperkirakan produksi minyak sawit akan tumbuh sebesar 5,0% yoy karena perseroan berharap kekurangan tenaga kerja akan teratasi pada 2022F.
|Baca juga: Emiten Berbasis Emas, CPO, & Timah Berpotensi Dorong IHSG
Dengan berlanjutnya produksi yang lemah pada tahun 2021, harga CPO global meningkat menjadi MYR5.159 per ton pada tahun 2021. Akibatnya, harga minyak goreng juga naik 34% menjadi Rp21.000 per liter. Menyikapi hal tersebut, Kementerian Perdagangan (Kemendag) mengeluarkan beberapa peraturan, termasuk penetapan harga eceran tertinggi.
Harga eceran tertinggi minyak goreng curah ditetapkan sebesar Rp11.500 per liter, minyak goreng kemasan sederhana Rp13.500 per liter, dan minyak goreng kemasan premium ditetapkan Rp14.000 per liter, disubsidi dana CPO sebesar Rp7,6 triliun.
Kemendag juga menetapkan aturan Domestic Market Obligation (DMO) 20% berdasarkan volume ekspor serta Domestic Price Obligation sebesar Rp9.300 per kg (vs harga global rata-rata Rp18.717 per kg) untuk volume penjualan CPO yang termasuk dalam DMO. Peraturan ini akan dilaksanakan untuk jangka waktu 6 bulan.
|Baca juga: BPDPKS: Indonesia Siap Counter Attack Eropa Atas Black Campaign Sawit Indonesia
Lebih lanjut Juan menilai untuk AALI, kebijakan tersebut memiliki dampak negatif terhadap pendapatan AALI karena peraturan ini akan menghambat ASP-nya, sehingga di masa depan menjadi marjin yang lebih rendah.
“Kami mencatat bahwa AALI memiliki porsi ekspor 45% dan proporsi penjualan domestik 55% di 9M21. Oleh karena itu, kami menurunkan perkiraan pendapatan kami di 2022F sebesar 9,5%. Kami tetap mempertahankan rekomendasi Beli kami di AALI dengan target harga yang lebih rendah yaitu Rp12.100 (sebelumnya Rp12.700).”
Untuk LSIP, Juan melihat dampak netral terhadap pendapatannya karena semua volume penjualannya diarahkan ke pasar domestik. “Karena kami mempertahankan perkiraan kami, kami masih mempertahankan rekomendasi beli kami di LSIP dengan target harga yang tidak berubah di Rp1.900.”
| Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News