1
1

Peluang Menangguk Cuan dari Pasar Obligasi di Tengah Perang Tarif

Senior Portfolio Manager Fixed Income MAMI, Syuhada Arief. | Foto: MAMI

Media Asuransi, JAKARTA – Memasuki kuartal kedua, pasar finansial global melemah tajam setelah Amerika Serikat (AS) mengumumkan rincian tarif resiprokal perdagangan untuk mitra-mitra perdagangannya.

Mengapa pasar sangat bereaksi negatif, padahal rencana pengenaan tarif ini sudah sering disampaikan sebelumnya? Pasar bereaksi sangat negatif karena besaran tarif resiprokal ini ternyata jauh lebih tinggi dibandingkan ekspektasi, yang didapatkan dari formula yang juga tidak umum digunakan.

Biasanya tarif resiprokal ditentukan berdasarkan selisih tarif perdagangan yang ada antar dua pihak atau dua negara, namun parameter yang digunakan AS kali ini adalah berdasarkan selisih defisit perdagangan. Alhasil, semakin besar defisit perdagangan AS terhadap suatu negara, maka semakin tinggi juga negara tersebut terkena tarif resiprokal oleh AS.

|Baca juga: Kinerja SBN & Obligasi Korporasi Kompak Menguat

“Dengan kalkulasi tersebut, ada negara-negara yang terkena tarif sampai 49 persen, sehingga pasar khawatir pada potensi terjadinya disrupsi perdagangan global,” kata Senior Portfolio Manager Fixed Income PT Manulife Aset Manajemen Indonesia (MAMI), Syuhada Arief, dalam keterangan resmi, Selasa, 29 April 2025.

Di akhir 2024, terpilih kembalinya Donald Trump sebagai Presiden AS membawa narasi positif bagi ekonomi AS, didukung oleh harapan kebijakan yang pro-bisnis. Namun memasuki 2025, harapan ini memudar digantikan kekhawatiran resesi yang justru mengemuka, seiring dengan bahwa perang tarif dapat berdampak pada kenaikan harga barang di AS, turunnya konsumsi, dan akhirnya memicu pelemahan pertumbuhan ekonomi di AS.

Menurut Syuhada, tarik ulur negosiasi tarif resiprokal yang dijadwalkan berlangsung sepanjang kuartal kedua ini juga memperpanjang periode ketidakpastian, menjadi faktor yang dapat menambah hambatan pada roda ekonomi. Jadi memang wajar jika berbagai lembaga merevisi naik probabilitas resesi AS 12 bulan ke depan.

“Tetapi apakah resesi adalah suatu kepastian, itu yang kita tidak tahu. Yang pasti, periode negosiasi 90 hari terkait tarif resiprokal adalah periode krusial yang menentukan ke mana arah perdagangan, inflasi, suku bunga, dan pertumbuhan ekonomi dunia akan dibawa. Kita harapkan semua pihak dapat bernegosiasi dengan kepala dingin,” jelasnya.

|Baca juga:Kini Berinvestasi di Obligasi Pemerintah (SBN) Bisa via M-STOCK Besutan Mirae Asset

Di sisi lain, dampak langsung tarif 32 persen untuk Indonesia diperkirakan terbatas. Eksposur ekspor Indonesia ke AS relatif minim, yakni 10 persen dari total ekspor atau 2,2 persen dari PDB (produk domestik bruto). “Kita lihat negara kawasan eksposurnya lebih besar, seperti misalnya Vietnam sebesar 33 persen dari PDB), Malaysia yang sebesar 13 persen dari PDB, atau Thailand sebesar 13 persen dari PDB). Jadi walaupun tarif resiprokal AS bagi Indonesia cukup tinggi, namun tetap kompetitif dibandingkan dengan negara kompetitor perdagangan Indonesia,” kata Syuhada

Menurutnya, hal ini justru menciptakan peluang bagi Indonesia untuk dapat lebih bersaing. Di lain pihak, yang lebih krusial bagi Indonesia justru dampak tidak langsung, yang terjadi  dari melambatnya pertumbuhan ekonomi global, risiko inflasi, ketidakpastian bagi dunia usaha, keyakinan konsumen, dan arah kebijakan suku bunga. “Di saat seperti ini, kemampuan negosiasi pemerintah Indonesia dengan AS juga berpotensi menjadi faktor yang menentukan selera investasi terhadap Indonesia,” tambahnya.

 

Penurunan Suku Bunga

Risiko dari kebijakan tarif AS sudah diafirmasi oleh The Fed, tecermin dari proyeksi terkini The Fed terhadap indikator-indikator ekonomi utama yakni ekspektasi pertumbuhan ekonomi direvisi turun dan inflasi direvisi naik. Ketua The Fed, Jerome Powell, mengindikasikan bahwa bank sentral tidak akan terburu-buru menurunkan FFR, dan saat ini kebijakan The Fed tetap fokus pada pengendalian inflasi. Keputusan ini sebenarnya cukup wajar, kenaikan tarif akan berdampak pada kenaikan inflasi terlebih dahulu, dan berikutnya -dalam jangka menengah- baru akan berdampak pada pelemahan ekonomi.

Berdasarkan dot plot atau arah keyakinan anggota dewan gubernur The Fed, sampai saat ini The Fed masih memperkirakan penurunan FFR sebesar 50 bps (basis points) sampai akhir tahun. Justru ekspektasi pasar yang berubah, karena pasar memperkirakan sampai akhir tahun ini akan ada penurunan FFR sebesar 100 bps, lebih agresif dibandingkan The Fed yang masih netral.

|Baca juga: Infovesta: Kinerja SBN Alami Kenaikan 0,08% pada Pekan Lalu

Syuhada menuturkan bahwa isiko perlambatan ekonomi global dapat memicu bank sentral global dan Bank Indonesia untuk memangkas suku bunga lebih agresif. Secara historis Bank Indonesia bereaksi memangkas suku bunga dalam kondisi pelemahan ekonomi global, walaupun saat itu Rupiah berada dalam tekanan. Kondisi ini pernah terjadi pada periode 2010-2012, 2014-2016, dan 2018-2020.

“Jadi bukan tidak mungkin. Tapi kita juga harus percaya bahwa BI akan tetap waspada mencermati pertimbangan-pertimbangan lain seperti kondisi terkait negosiasi tarif, dampaknya pada wacana resesi di AS, dan bagaimana reaksi atau sinyal kebijakan moneter The Fed,” jelasnya.

Menurutnya, pelemahan rupiah dan mata uang negara-negara berkembang lainnya didorong oleh ketidakpastian kondisi ekonomi akibat kebijakan tarif Trump. Namun demikian, belajar dari kasus kebijakan tarif Trump sebelumnya, yakni penurunan tensi sebagai hasil dari kesepakatan perundingan tarif AS dengan negara-negara lain, akan mendorong penguatan mata uang negara berkembang termasuk rupiah.

Dengan demikian ini adalah saat yang tepat untuk melakukan dollar cost averaging memanfaatkan momentum pelemahan rupiah dan harga obligasi. Strategi ini juga diterapkan oleh investor-investor asing di mana berdasarkan data yang dikutip dari Kementrian Keuangan, dalam periode tahun berjalam sampai Maret 2025, investor asing mencatatkan net buy sekitar Rp16,29 triliun. Pembelian oleh investor asing ini juga menunjukkan kepercayaan investor asing terhadap fundamental dan outlook SBN.

|Baca juga: Pasar Modal Belum Bergairah, Perusahaan Asuransi Jiwa Bisa Alihkan Investasi ke SBN dan Sukuk!

Syuhada menambahkan bahwa MAMI telah melakukan perubahan strategi investasi sejak terpilihnya Donald Trump sebagai Presiden AS pada akhir tahun lalu. MAMI telah melakukan perubahan strategi, yakni beralih ke obligasi tenor pendek untuk mengantisipasi kebijakan tarif yang sudah disampaikan pada masa kampanye lalu.

“Obligasi tenor pendek dengan durasi rendah ini selain lebih resilien terhadap volatitlitas pasar, juga akan diuntungkan dari kebijakan penurunan suku bunga. Dalam tahun 2025 ini, Fed merencanakan pemotongan suku bunga acuan Fed (FFR) sebesar 50 bps, sementara konsensus pasar memprediksi Fed akan memotong FFR sebesar 100 bps,” terangnya.

Dia sampaikan bahwa volatilitas jangka pendek diperkirakan tetap akan tinggi. Pasar akan menunggu hasil negosiasi bilateral antarnegara terkait kebijakan tarif AS, dampak terhadap ekonomi, reaksi dan sinyal bank sentral, juga menantikan perkembangan kebijakan ekonomi Indonesia.

“Kondisi ketidakpastian global yang tinggi dan pelemahan ekonomi sudah pernah kita alami berkali-kali. Dan secara historis, suku bunga dan kebijakan pemerintah dapat menjadi lebih suportif dalam kondisi tekanan ekonomi,” kata Syuhada.

Investor diharapkan memiliki portofolio investasi yang terdiversifikasi untuk menurunkan volatilitas keseluruhan portofolio. “Selain itu pastikan juga ada diversifikasi ke kelas aset yang likuid yang berfungsi sebagai bantalan, namun juga dapat dengan lincah kita manfaatkan untuk menangkap peluang investasi yang ada, misalnya saja ketika bank sentral memberi sinyal terkait kebijakan pelonggaran moneter,” tuturnya.

Editor: S. Edi Santosa

| Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Related Posts
Prev Post Tugu Insurance Catatkan Kinerja Cemerlang
Next Post Jasa Marga Group Tanam 1.500 Bibit Durian di Pati

Member Login

or