Fajar Nindyo *)
Meskipun dalam sejumlah literatur telah dinyatakan bahwa karakteristik kontrak asuransi disinyalir sudah ada sejak jaman bangsa Arab sebelum kedatangan Islam, namun dalam hal ini tidak benar-benar sama dalam praktik asuransi yangs sesungguhnya.
Praktik Al-Aqilah berdasarkan pada Kitab Fathul Baari karya Ibnu Hajar Al-Asqalani dimasukkan pada Jilid 33Bab Ad-Diyaat yang membahas tentang denda atau tebusan karena peristiwa pembunuhan atau penganiayaan. Di sana dijelaskan, dari Ibnu Al Musayyib dan Abi Salamah bin Abdirrahman bahwa Abu Hurairah ra. berkata, “Dua perempuan dari suku Hudzail berkelahi lalu salah seorang dari keduanya melempari lainnya dengan batu hingga membunuhnya beserta janin yang ada dalam perutnya.
Setelah itu mereka mengadu kepada Nabi SAW, lalu beliau memutuskan bahwa diyat janinnya adalah seorang budak laki-laki atau budak perempuan, dan beliau memutuskan bahwa diyatnya perempuan itu ditanggung oleh aqilah-nya.”
Dengan demikian, istilah Al-Aqilah yang menjadi rujukan dalam teori prinsip dasar asuransi syariah berasal dari kata aqilah dalam hadits di atas yang berarti keluarga terdekat pembunuh yang oleh Dr Muhammad Muhsin Khan diartikan sebagai asabah.
Dalam praktik Al-Aqilah di atas sebenarnya hanya terlihat adanya 3 komponen “asuransi” yaitu : (1) tertanggung (korban pembunuhan), dan (2) penanggung (aqilah atau keluarga terdekat pembunuh), dan (3) nilai pertanggungan (diyat atau uang darah). Sementara 1 komponen lagi tidak terlihat yaitu “premi asuransi” yakni tidak ada pengumpulan uang tertentu sebagai jaminan sebelum terjadinya pembunuhan itu. Yang ada adalah peng-qiyas-an premi dengan “kesiapan untuk membayar diyat.”
Praktik Asuransi oleh Aliran Sufi ‘Kazeruniyya’
Jika praktik asuransi yang sesungguhnya (dengan basis premi) dikatakan sudah muncul pada sekitar tahun 1250 M di sejumlah kota di Italia seperti Genoa, Venesia, dan Florence, maka praktik asuransi yang dipraktikkan kalangan Islam telah dilakukan pada periode antara abad 14 sampai 17.
Hal ini antara lain dijelaskan dalam buku “Concept and Application of Shariah for The Construction Industry” (2019) yakni sekelompok aliran sufi aliran Kazeruniyya mendirikan dan membuat mekanisme asuransi perjalanan laut.
Para pedagang disebut melakukan pembayaran premi yang ditentukan oleh kelompok sufi tersebut dalam rangka perlindungan atas bahaya-bahaya yang mungkin dialami selama perjalanan laut. Hal ini diperkuat oleh Mohd Ma’sum Bilah dalam bukunya “Principles & Practices of Takaful and Insurance Compared” yang menyatakan bahwa aliran sufi bernama Kazeruniyya tumbuh dan berkembang di sejumlah kota pelabuhan di Malabar dan China yang dipimpin oleh Abu Ishaq Ibrahim Ibn Shahriyah sebagai tokoh aliran sufi tersebut.
Kelompok Kazeruniyya itu mengelola dan melayani jasa perlindungan, semacam perusahaan asuransi perjalanan laut. Para pedagang saat memulai perjalanan melalui laut ke China atau Malabar harus menandatangani catatan yang berisi sejumlah nilai tertentu yang disepakati (disebut Barakah) untuk dibayarkan kepada aliran sufi tersebut apabila mereka tiba dengan selamat di tempat tujuan.
Mekanismenya, pada saat kedatangan kapal, agen yang bertindak atas nama aliran sufi itu akan naik ke kapal untuk mengumpulkan sejumlah uang yang dicatatkan pada masing-masing pedagang yangmenumpangi kapal. Jika pembayaran dengan nilai yang telah disepakati ternyata terlambat, aliran sufi itu tidak akan menanggung risiko keuangan terhadap kerugian yang dialami pedagang.
Kazeruniyya tersebut hanya efektif berjalan sampai awal abad 17 manakala dihentikan operasionalnya karena adanya penolakan dari semangat gerakan Barakah dari Abu Ishaq. Penghentian itu juga dimungkinkan terjadi karena munculnya sejumlah perusahaan asuransi dari Eropa yang telah mencapai Lautan India dan menawarkan alternatif perlindungan atau proteksi risiko yang lebih menarik.
*) Penulis adalah Wakil Manager Takaful Institute
| Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News