Media Asuransi, JAKARTA – Kebijakan tarif resiprokal yang diterapkan Pemerintah Amerika Serikat (AS) akan sangat berdampak kepada seluruh sektor industri di berbagai negara. Hal ini tentunya juga memberikan imbasnya kepada sektor jasa keuangan di Indonesia.
Direktur & Founder Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira berpendapat dampak ini akan berisiko terhadap industri jasa keuangan terutama dari aspek penyaluran kredit, likuiditas, suku bunga, dan premi asuransi di berbagai sektor.
Ia melanjutkan risiko penyaluran kredit akan meningkat terutama pada komoditas ekspor batu bara, nikel, dan minyak kelapa sawit (CPO), serta produk industri padat karya seperti alas kaki dan pakaian jadi.
|Baca juga: Trisula Textile Industries (BELL) Tebar Dividen Rp5 Miliar
|Baca juga: Protes BPJS Kesehatan Dapat Digunakan Warga Asing, Legislator: Mereka Tidak Bayar Pajak!
“Naiknya risiko kredit memengaruhi kehati-hatian bank dalam menyalurkan dana ke sektor usaha,” ucap Bhima, kepada Media Asuransi, dikutip, Kamis, 17 April 2025.
Bhima menyampaikan pertumbuhan kredit diperkirakan berada dibawah 9,5 persen pada akhir tahun ini. Selain itu, imbas dari resiprokal juga akan dirasakan pada likuiditas yang makin ketat, sejalan dengan perubahan sebagian investasi ke aset seperti emas batangan dan obligasi pemerintah.
|Baca juga: Siap-siap! AS Bakal Terapkan Tarif Baru untuk Impor Chip dan Produk Elektronik
Lebih lanjut, masih kata Bhima, kebijakan ini juga akan berimbas pada risiko meningkatnya suku bunga acuan. “Ketika risiko ekonomi naik dan melemahkan nilai tukar rupiah maka Bank Indonesia (BI) diproyeksikan menaikkan suku bunga hingga 50-75 bps,” ucapnya.
Selain itu, imbas lainnya berada pada berkurangnya pendapatan premi di sektor industri asuransi. Pelemahan itu ini berasal dari kegiatan usaha logistik, industri, hingga asuransi jiwa atau perorangan.
Editor: Angga Bratadharma
| Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News