Media Asuransi, JAKARTA – Tokoh asuransi nasional yang juga pernah menjabat sebagai Kepala Eksekutif Pengawas Industri Keuangan Non-Bank OJK periode 2012–2017 Firdaus Djaelani menilai tantangan utama industri asuransi umum di Indonesia saat ini bukan terletak pada rasio klaim melainkan tingginya beban operasional atau expenses ratio.
Berdasarkan data Asosiasi Asuransi Umum Indonesia (AAUI) yang dikutipnya, rata-rata rasio klaim asuransi umum berada di angka sekitar 45 persen, sedangkan untuk reasuransi mencapai 60 persen.
|Baca juga: Bukan Cuma Bertahan, Ini Jurus Pamungkas OJK Dongkrak Industri Asuransi RI!
|Baca juga: Ketua DAI: Klaim Tinggi Bukan Ancaman tapi Peluang untuk Industri Asuransi
Ia menilai angka ini masih dalam batas wajar jika dilihat dari komposisi 15 lini bisnis atau Line of Business (LOB) yang dijalankan oleh perusahaan asuransi. Namun, beberapa lini bisnis menunjukkan klaim rasio yang jauh lebih tinggi.
“Asuransi kredit, misalnya, klaim rasionya di 2023 sebesar 75,6 persen, dan naik menjadi 85,3 persen pada 2024,” ujar Firdaus, dalam Insurance Forum, dikutip Senin, 21 Juli 2025.
Sementara itu, asuransi kesehatan yang sempat ramai diperbincangkan pada 2023 bahkan sempat mencatat klaim rasio sebesar 95,3 persen. Namun, pada 2024 angkanya justru turun drastis menjadi 58,2 persen. Firdaus mengungkapkan kondisi ini kerap menimbulkan pertanyaan publik, khususnya terkait langkah OJK yang mengeluarkan ketentuan mengenai co-payment.
“Memang ini menjadi pertanyaan, kenapa OJK mengeluarkan ketentuan mengenai co-payment? Padahal klaim rasionya menurun. Kira-kira kan begitu ya. Oke lah itu pemikiran OJK sendiri, saya tidak mau cawe-cawe,” katanya.
|Baca juga: Petinggi IFG: Pertumbuhan Premi Asuransi Terbatas tapi Diiringi Fundamental Keuangan yang Baik
Ia menjelaskan yang lebih perlu menjadi perhatian saat ini adalah beban operasional industri asuransi yang dinilai masih sangat tinggi. Firdaus menyebutkan expenses ratio di perusahaan asuransi umum Indonesia saat ini berkisar antara 30 hingga 35 persen, sebuah angka yang dinilainya tidak wajar.
Padahal beban operasional ideal, menurutnya, hanya sekitar 10 persen, termasuk untuk pegawai dan sewa gedung. “Kalau sampai 30, 35 persen itu artinya tidak wajar. Jadi combined ratio kita itu kalau 90 persen sekarang itu masih bagus. Kalau sudah 95 tidak bagus, apalagi sudah 97, itu dia hanya makan mungkin dari hasil investasi saja,” tegasnya.
Lebih lanjut, Firdaus menjelaskan, combined ratio merupakan penjumlahan dari klaim rasio, komisi rasio, dan expenses ratio. Untuk asuransi umum, klaim rasio sekitar 45 persen, ditambah komisi rasio sekitar 15 persen, menjadikan totalnya 60 persen.
Sementara expenses ratio menyumbang tambahan 30 hingga 35 persen, membuat total rasio bisa menyentuh angka 90 persen lebih. Hal ini menunjukkan margin keuntungan dari kegiatan underwriting nyaris tidak ada, dan perusahaan sangat bergantung pada hasil investasi.
Di sisi reasuransi, kondisi juga tak jauh berbeda. Jika klaim rasio mencapai 60 persen dan komisi rasio 30 hingga 35 persen maka combined ratio telah mencapai 95 persen. Bila ditambah lima persen untuk biaya pegawai dan sewa maka totalnya menyentuh 100 persen.
|Baca juga: Industri Asuransi RI Disebut Lemah, Proyek-proyek Besar Akhirnya ‘Terbang’ ke Luar Negeri
|Baca juga: Berikut Para Pemenang Market Leaders Pialang Reasuransi 2025
“Berarti dari hasil underwriting dia tidak dapat apa-apa. Hanya makan dari hasil investasi,” ucap Firdaus.
Ia menilai salah satu penyebab tingginya expenses ratio adalah persaingan antarperusahaan yang terlalu ketat akibat jumlah pemain yang terlalu banyak. Saat ini terdapat sekitar 72 perusahaan asuransi umum, delapan perusahaan reasuransi, dan lebih dari 60 perusahaan asuransi jiwa.
Kondisi ini berbeda jauh dengan negara maju seperti Jepang yang hanya memiliki sekitar 20-an pemain. Menurut Firdaus persaingan yang tidak sehat justru terjadi bukan pada komisi, melainkan pada biaya akuisisi yang tinggi. Akibatnya expenses ratio tetap tinggi.
Ia menegaskan efisiensi adalah kunci pembenahan untuk industri asuransi Indonesia saat ini. “Kalau misalnya kita bisa lebih mengurangi expenses ratio, kita barang kali bisa membuat premi lebih murah dan pelayanan lebih bagus,” tutup Firdaus.
Editor: Angga Bratadharma
| Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News