Media Asuransi, JAKARTA – Pemerintah saat ini tengah berupaya mendorong pembangunan rumah vertikal sebagai solusi kebutuhan hunian di kawasan perkotaan. Tidak ditampik, urbanisasi yang semakin pesat menuntut kebijakan perumahan yang berbeda dengan wilayah pedesaan.
“Data konsisten menunjukkan pada 2035, sebanyak 70 persen masyarakat Indonesia akan tinggal di perkotaan. Itu artinya kebutuhan perumahan di kota akan sangat besar,” kata Wakil Menteri Perumahan dan Kawasan Permukiman Fahri Hamzah, dalam sebuah webinar, Kamis, 21 Agustus 2025.
|Baca juga: BI Genjot Operasi Moneter Pro Market Demi Pertebal Likuiditas Perbankan
|Baca juga: Bank Jakarta Komitmen Dorong Transaksi Nontunai di Pasar Tradisional
|Baca juga: Sektor Perumahan Berpotensi Jadi Mesin untuk Capai Pertumbuhan Ekonomi 8%
Menurutnya harga tanah di perkotaan sudah tidak memadai untuk pembangunan rumah tapak. Karena itu, pemerintah mengusulkan agar elemen subsidi dialihkan ke tanah, sehingga harga rumah vertikal bisa ditekan lebih murah.
“Kalau kita gratiskan tanah di banyak tempat, lebih dari 50 persen harga rumah akan turun. Kalau harganya sudah 50 persen, pencicilan jauh lebih gampang,” ujar Fahri.
Ia mencontohkan tanah sepadan pantai atau sungai yang selama ini dipenuhi permukiman kumuh seharusnya bisa dimanfaatkan untuk pembangunan rumah vertikal. Dengan demikian, kawasan kumuh dapat ditata sekaligus menyediakan hunian layak bagi masyarakat.
Selain itu, pemerintah ingin menghidupkan kembali ide pembangunan hunian vertikal ala Housing Development Board (HDB) Singapura. Fahri menyebut konsep ini sebenarnya berasal dari Indonesia sejak Kongres Perumahan 1952.
|Baca juga: BI Tegaskan Industri Perbankan Indonesia Tangguh dan Sehat
|Baca juga: BCA (BBCA) Blak-blakan soal Isu Akuisisi 51% Saham oleh Pemerintah, Ini Faktanya!
“Jadi bukan kita yang mencontoh Singapura, tapi Singapura yang mencontoh kita. Bedanya, kita tidak punya kebijakan konsisten, sehingga hasilnya tidak tampak,” tegas Fahri.
Dirinya menekankan rumah vertikal bisa dirancang ramah lingkungan dengan lantai dasar sebagai ruang publik. “Bayangkan kalau pinggir sungai kita sudah dikonsolidasi, lalu di bawah rumah vertikal ada lahan kosong yang bisa jadi ruang publik atau kafe. Sungainya pun lama-lama bersih,” pungkasnya.
Editor: Angga Bratadharma
| Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News