1
1

Pahami dengan Baik Sebelum Membeli Produk Asuransi

Saat ini sedang marak adanya pengaduan atau keluh-kesah dari masyarakat terutama pemegang polis asuransi mengenai produk maupun layanan asuransi jiwa. Pengaduan dilayangkan kepada regulator maupun ke Asosiasi Asuransi Jiwa Indonesia (AAJI). Menyikapi adanya hal tersebut, AAJI mengadakan media gathering secara daring dengan mengundang beberapa pembicara yang kompeten di masing-masing  bidangnya.

Acara diadakan melalui aplikasi zoom pada pertengahan April lalu menghadirkan pembicara dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK) yang membidangi Industri Keuangan Non Bank (IKNB), yakni Kepala Bagian di Direktorat Pengawasan Asuransi dan BPJS Kesehatan OJK, Kurnia Yuniakhir. Pembicara kedua, Direktur Pelayanan Konsumen OJK, Sabar Wahyono. Pembicara ketiga adalah pengamat hukum Ricardo Simanjuntak, kemudian Presiden Direktur PT Schroders Investment Management Indonesia, Michael Tjandra Tjoa, dan Direktur Eksekutif AAJI, Togar Pasaribu.

Direktur Eksekutif AAJI, Togar Pasaribu, mengatakan bahwa nasabah atau calon nasabah sebelum membeli produk asuransi harus  memahami lebih dahulu dengan baik hak dan kewajibannya. Selain itu, memastikan kesesuaian produk tersebut dengan kebutuhannya. “Saya sudah sering bilang, kalau boleh secerewet-cerewetnya kepada agen. Karena ini uang Anda, untuk masa depan keuangan Anda, untuk keluarga yang lebih baik,” tegasnya.

Selain itu, lanjut Togar, nasabah atau calon nasabah, wajib membaca ringkasan informasi produk dan layanan saat akan membeli produk asuransi. Mereka juga harus membaca dan memahami seluruh manfaat dan risiko produk yang terdapat pada polis. “Kalau nasabah atau calon nasabah tidak membaca polis, itu akan merugikan mereka. Kita tahu masyarakat Indonesia malas membaca, tapi sepertinya kalau masalah polis harus dibaca. Karena polis yang menjadi dasar hubungan antara tertanggung dan penanggung,” katanya.

AAJI berharap, perusahaan semakin menekankan mengenai standar praktik dan kode etik kepada seluruh tenaga pemasar, sehingga menghindari adanya disinformasi, menghindari mis-selling, dan sebagainya.

Sementara itu, Direktur Pelayanan Konsumen OJK, Sabar Wahyono, menjelaskan bahwa pengaduan dari masyarakat kepada OJK terhadap industri asuransi masih didominasi ketidaksesuaian produk layanan dengan penawaran atau mis-selling, terutama terkait produk asuransi yang dikaitkan investasi (PAYDI) atau unitlink. “Pengaduan konsumen terkait PAYDI pada 2019 sebanyak 360 kasus, kemudian meningkat hampir dua kali lipat menjadi 593 aduan di 2020. Pada 2021 sampai bulan April, sudah terdapat 273 pengaduan,” paparnya.

Sabar mengatakan, agen asuransi masih ada yang salah menjelaskan ke calon pemegang polis. “Dampaknya konsumen tidak tahu. Meskipun sudah diberi polis, konsumen itu malas baca polis. Tahu-tahu dapat laporan bahwa nilai investasinya turun dan dia tidak terima. Meski nature dari investasi mengandung risiko, tidak semua pemegang polis memahaminya. Apalagi di awal tidak sedikit agen asuransi yang memberi janji-janji manis bahwa setelah 5 tahun, nilai investasi dari pemegang polis akan terus naik,” ungkapnya.

Menurut Sabar, perlu dibuatkan daftar hitam agen nakal atau fraud karena mayoritas pengaduan yang masuk ke OJK karena agennya telah hilang atau tidak bekerja di perusahaan. Bahkan, dalam hasil pemantauan tematik terkait unitlink, OJK menemukan bahwa proses pemasaran agen menyerupai multilevel marketing (MLM) karena menekankan penjualan produk pada proses perekrutan agen dibanding penjualan asuransi itu sendiri.

OJK meminta perusahaan asuransi melakukan edukasi secara komprehensif kepada konsumen mengenai skema produk terkait investasi. Pada saat penawaran produk, perusahaan wajib memastikan agen asuransi menjelaskan produk secara detil dan komprehensif.

Pengamat hukum asuransi, Ricardo Simanjuntak, menjelaskan bahwa unitlink merupakan produk asuransi yang kompleks, di satu sisi menawarkan perlindungan jiwa dan harta, namun di sisi lain ada unsur investasinya. “Jenis-jenis investasi yang ditawarkan unitlink sebenarnya sudah banyak ditawarkan di portofolio investasi lain seperti saham dan reksa dana. Jadi, harus ekstra effort untuk menjelaskan soal proteksi dan investasi dalam satu produk asuransi. Hal ini dikarenakan satunya bermakna risiko ditanggung perusahaan asuransi, sementara satunya lagi risiko ditanggung pemegang polis,” ungkap Ricardo.

Pada kesempatan itu, Presiden Direktur PT Schroders Investment, Michael Tjandra Tjoa, menilai munculnya kasus unitlink di industri asuransi karena masih rendahnya literasi masyarakat terhadap produk tersebut. “Adanya keluhan atas kerugian nasabah yang membeli unitlink masih kerap terjadi,” jelasnya.

Michael mengatakan, pemegang polis harus mengerti produk investasi. Perusahaan asuransi memberikan edukasi kepada pemegang polis karena mereka punya hak untuk investasi. Calon pemegang polis harus tahu dan paham tentang produk unitlink yang akan dibeli karena tingkat risikonya berbeda-beda dari setiap instrumen. W. Widiastuti

| Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Related Posts
Prev Post Menkeu Ancam Hapus Akses Obligor BLBI ke Lembaga Keuangan
Next Post Wall Street Dibuka Menguat Seiring Hilangnya Kekhawatiran Tapering

Member Login

or