1
1

Permodalan Asuransi: Likuiditas, Manajemen Risiko, dan Konsolidasi

Oleh: Dody A S Dalimunthe

 

Industri perasuransian di Indonesia telah mengalami pertumbuhan yang signifikan selama beberapa tahun terakhir. Namun, dengan pertumbuhan yang cepat, perusahaan-perusahaan asuransi dan reasuransi di Indonesia perlu mengelola risiko dengan lebih baik, termasuk risiko keuangan dan risiko reputasi. Karena menyangkut kepentingan masyarakat yang mempercayakan dananya kepada perusahaan asuransi, maka industri asuransi dan jasa keuangan pada umumnya merupakan highly very regulated industry.

Ini diartikan bahwa jika ada ketidakpercayaan masyarakat kepada jasa keuangan maka akan berdampak signifikan dan bisa jadi sistemik. Ciri khas asuransi adalah kesiapan dana saat terjadi klaim yang itupun sifatnya uncertainty. Sehingga kepastian dana klaim adalah certainty. Regulasi yang mengatur bagaimana perusahaan asuransi harus tetap likuid dan solven saat klaim terjadi. Salah satu cara untuk melindungi dari risiko-risiko tersebut adalah dengan memperkuat modal perusahaan.

Perbandingan dengan beberapa negara di luar Indonesia menunjukkan bahwa rasio solvabilitas perusahaan asuransi dan perusahaan reasuransi di negeri ini masih jauh dari negara-negara maju lainnya. Laporan yang dirilis oleh Swiss Re pada tahun 2020 menyebutkan perusahaan asuransi di Indonesia memiliki rasio solvabilitas rata-rata sebesar 189 persen pada tahun 2019, sementara negara-negara maju seperti Jepang memiliki rasio solvabilitas rata-rata sebesar 1.083 persen, Amerika Serikat sebesar 769 persen, dan Inggris sebesar 238 persen. Angka-angka tersebut menunjukkan bahwa rasio solvabilitas perusahaan asuransi di negara maju cenderung lebih tinggi daripada di Indonesia.

Namun, perlu dicatat bahwa membandingkan rasio solvabilitas antarnegara sedikit sulit dilakukan karena setiap negara memiliki standar yang berbeda dalam menentukan persyaratan modal minimum perusahaan asuransi. Selain itu, perusahaan asuransi di negara yang berbeda mungkin juga memiliki profil risiko yang berbeda, yang dapat mempengaruhi rasio solvabilitas mereka. Oleh karena itu, perlu dipertimbangkan dengan hati-hati dalam melakukan perbandingan antarnegara.

Permodalan perusahaan asuransi dan perusahaan reasuransi sangat penting untuk menjamin keberlangsungan bisnis. Perusahaan asuransi membutuhkan modal yang cukup untuk membayar klaim yang mungkin timbul di masa depan. Sementara itu, perusahaan reasuransi membantu mengurangi risiko yang dihadapi oleh perusahaan asuransi dengan menanggung sebagian risiko tersebut. Oleh karena itu, perusahaan reasuransi juga membutuhkan modal yang cukup untuk menjamin keberlangsungan bisnisnya.

Peningkatan modal memang bukan satu-satunya solusi untuk menjaga likuiditas dan solvabilitas. Regulator pun telah membuat ketentuan mengenai kesehatan keuangan perusahaan asuransi dan reasuransi guna meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap perusahaan-perusahaan tersebut. Permodalan di perusahaan asuransi berkaitan dengan posisi ekuitas yang akan menentukan batas besaran risiko sendiri yang dapat ditahan saat menerbitkan polis asuransi. Semakin besar ekuitas, maka akan semakin besar juga risiko sendiri yang ditahan, dan risiko selebihnya akan ditempatkan melalui mekanisme reasuransi. Karakteristik risiko makin kompleks, apalagi dengan ditambah risiko investasi. Oleh karena itu, perusahaan asuransi harus memiliki ekuitas yang cukup besar agar memiliki buffer yang cukup dalam menjaga solvabilitasnya.

Bagi perusahaan asuransi yang lebih berkosentrasi di produk-produk asuransi retail, menjaga kesehatan keuangan dapat dilakukan dengan memastikan pencadangan yang proper serta penempatan investasi yang likuid dan aman. Namun untuk produk-produk asuransi segmen korporasi yang memiliki nilai pertanggungan besar, perlu dipastikan bahwa perusahaan asuransi harus membayar klaim terlebih dahulu ke tertanggung sebelum mendapat claim recovery dari reasuradur. Meskipun ada skema cash call claim dalam mekanisme reasuransi, tanggung jawab pembayaran klaim ke tertanggung tetap pada perusahaan asuransi.

Pada prinsipnya kecukupan permodalan perusahaan perasuransian akan dapat memperkuat posisi keuangan perusahaan, karena perusahaan-perusahaan asuransi dan reasuransi dapat menunjukkan kemampuan mereka dalam membayar klaim secara tepat waktu dan memenuhi kewajiban finansial mereka. Selain itu, perusahaan-perusahaan asuransi dan reasuransi yang memiliki modal yang cukup, juga dapat lebih mudah mengakses pasar modal untuk mendapatkan sumber pendanaan tambahan. Hal ini akan membantu perusahaan-perusahaan tersebut untuk terus tumbuh dan berkembang.

Otoritas Jasa Keuangan RI (OJK) sebagai regulator dan pengawas industri perasuransian akan memperketat regulasi terkait permodalan dengan mengeluarkan peraturan baru yang mengatur permodalan perusahaan asuransi dan reasuransi di Indonesia. Peraturan ini bertujuan untuk memperkuat posisi perusahaan-perusahaan tersebut dalam menghadapi risiko-risiko yang muncul di masa depan. Saat ini OJK telah memperketat regulasi terkait permodalan perusahaan asuransi dan perusahaan reasuransi di Indonesia. Peraturan OJK nomor 67/POJK.05/2016 menegaskan persyaratan modal disetor minimal Rp150 miliar bagi perusahaan asuransi, Rp300 miliar bagi perusahaan reasuransi, Rp100 miliar bagi perusahaan asuransi syariah dan Rp175 miliar bagi perusahaan reasuransi syariah. Dalam peraturan tersebut, perusahaan asuransi dan perusahaan reasuransi diwajibkan memiliki rasio solvabilitas sebesar minimal 120 persen.

OJK menyatakan sedang meninjau ulang peraturan terkait permodalan perusahaan asuransi dan reasuransi karena modal minimum yang sekarang disyaratkan terlalu rendah dibandingkan risiko yang ada di usaha bisnis masing-masing. Upaya penguatan dari aspek keuangan ini juga berkaitan dengan penerapan Pernyataan Standar Akuntansi keuangan (PSAK) 74 yang akan diterapkan pada 2025.

Dalam rilis yang disampaikan OJK, jumlah permodalan minimal perusahaan asuransi akan ditingkatkan menjadi Rp500 miliar di 2026 dan Rp1 triliun di 2028. Permodalan perusahaan minimal reasuransi juga akan ditingkatkan menjadi Rp1 triliun di 2026 dan Rp2 triliun di 2028. Demikian pula perusahaan asuransi syariah akan dinaikkan menjadi minimal Rp250 miliar di 2026 dan Rp500 miliar di 2028, sementara untuk reasuransi syariah akan naik menjadi Rp500 miliar pada 2026 dan Rp1 triliun di 2028. Namun kondisi saat ini beberapa perusahaan masih memiliki modal di bawah persyaratan minimum tersebut.

Dalam beberapa tahun terakhir, beberapa negara di luar Indonesia juga telah mengambil langkah serupa untuk memperkuat modal perusahaan asuransi dan reasuransi di negara mereka. Sebagai contoh, di Amerika Serikat, perusahaan asuransi harus memenuhi persyaratan modal minimum yang ditetapkan oleh National Association of Insurance Commissioners (NAIC), yakni perusahaan asuransi harus memenuhi persyaratan modal minimum sebesar $5 juta untuk asuransi jiwa dan $15 juta untuk asuransi umum. Di Jepang, Kementerian Keuangan Jepang berdasarkan ketentuan yang diatur dalam Insurance Business Act juga menetapkan persyaratan modal minimum untuk perusahaan asuransi dan reasuransi sebesar 4 miliar yen.

Sementara itu di Singapura, Monetary Authority of Singapore (MAS) menetapkan perusahaan asuransi harus memiliki modal minimum sebesar SGD5 juta sampai SGD12 juta untuk asuransi umum, SGD10 juta untuk asuransi jiwa, sementara perusahaan reasuransi harus memiliki modal minimum sebesar SGD50 juta. Di Australia, Australian Prudential Regulation Authority (APRA) menetapkan persyaratan modal minimum untuk perusahaan asuransi adalah AUD10 juta dan AUD50 juta untuk perusahaan reasuransi.

Permodalan yang cukup pada perusahaan asuransi dan perusahaan reasuransi akan berdampak positif terhadap pertumbuhan ekonomi di Indonesia. Industri perasuransian dapat membantu mempercepat pemulihan ekonomi di Indonesia dengan menyediakan produk-produk asuransi yang dibutuhkan oleh masyarakat dan bisnis. Selain itu, industri perasuransian juga dapat membantu mengurangi risiko yang dihadapi oleh investor dan memberikan kepercayaan kepada investor untuk berinvestasi di Indonesia.

Meskipun persyaratan permodalan di Indonesia saat ini tidak sebesar di beberapa negara lain, peningkatan permodalan perusahaan asuransi dan reasuransi tetap sangat penting untuk memastikan keberlangsungan bisnis dan memberikan proteksi yang memadai bagi nasabah. Di samping untuk menjaga stabilitas keuangan perusahaan dan memastikan ketersediaan dana yang cukup untuk menanggung risiko yang ditangani, perusahaan asuransi dan reasuransi yang memiliki modal yang kuat dan memadai juga dapat memperoleh keuntungan yang lebih besar, memperluas cakupan bisnis, dan mengembangkan produk baru yang inovatif. Hal ini dapat membantu industri perasuransian untuk berkembang serta memperkuat kepercayaan publik terhadap industri perasuransian di Indonesia, sehingga mendorong pertumbuhan ekonomi.

Dengan jumlah perusahaan asuransi dan reasuransi di Indonesia yang cukup banyak saat ini yang memiliki kemampuan permodalan bervariasi, maka langkah OJK untuk melakukan peningkatan permodalan secara bertahap akan memberi kesempatan kepada shareholder dan manajemen untuk membuat perencanaan strategis yang lebih tepat. Merujuk kepada progress yang telah berjalan dengan baik di industri perbankan sebelumnya, maka bisa saja perusahaan-perusahaan asuransi dikelompokkan berdasarkan modal dengan pembatasan produk-produk asuransi yang dijual. Tentunya pengelompokan ini terkait dengan besarnya retensi sendiri untuk setiap polis yang diterbitkan berdasarkan modal perusahaan tersebut.

Untuk mencapai persyaratan permodalan yang ditetapkan oleh regulator, perusahaan asuransi dan reasuransi harus melakukan upaya-upaya tertentu. Salah satu cara yang bisa dilakukan adalah dengan melakukan penawaran umum saham (initial public offering/IPO) atau peningkatan modal melalui investor strategis. Kondisi ini dalam jangka panjang akan mengarah kepada konsolidasi perusahaan-perusahaan asuransi.

Hal lain yang perlu juga menjadi perhatian bagi regulator adalah perlunya terobosan strategis dalam pengelolaan industri perasuransian terkait implementasi insurtech. Jika yang dijadikan rujukan dalam pengelolaan industri perasuransian adalah industri perbankan, maka perlu dipertimbangkan agar proses bisnis perasuransian tidak lagi sebatas penerbitan polis dan pembayaran klaim saja, namun industri perasuransian dapat berperan lebih luas sebagaimana perbankan saat ini. Bisa dibilang jika kolam industri perasuransian bisa lebih luas namun tetap terukur dan terkontrol, maka akan dapat menarik investor yang masuk membangu industri. Kita semua berharap agar industri asuransi ke depan akan semakin maju dan modern.

 

Dosen Sekolah Tinggi Manajemen Asuransi Trisakti

| Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Related Posts
Prev Post Tim Bola Voli Polri Akan Berlaga di Asian Men’s Volleyball Championship (AVC) 2023
Next Post Lebih Mudah dan Aman, Transaksi Selama Traveling di Luar Negeri Cukup dengan Smartphone

Member Login

or