1
1

AASI Ungkap 5 Alasan Perusahaan Asuransi Syariah Perlu Lahirkan Produk yang Khas Syariah

Ketua Umum AASI Rudy Kamdani. | Foto: Media Asuransi/Angga Bratadharma

Media Asuransi, JAKARTA – Asosiasi Asuransi Syariah Indonesia (AASI) menyebutkan karakteristik produk asuransi syariah harusnya dinilai berdasarkan pengelolaannya bukan semata-mata produknya. Hal itu dengan harapan mampu mengoptimalkan keberadaan industri asuransi syariah di Tanah Air.

“Produk syariah yang ada di pasaran tidak ada salahnya. Cuman memang yang menjadi kekhususan itu sendiri bukan dari produk-produknya tapi bagaimana produk itu dikelola,” kata Ketua Umum AASI Rudy Kamdani, dalam webinar bertajuk ‘Asuransi Syariah dan Produk Khas Syariah: Saatnya Diversifikasi Produk?‘ yang digelar Media Asuransi, Selasa, 18 Maret 2025.

Ia tidak menampik sekarang ini sudah ada produk syariah di pasaran mulai dari asuransi haji, umrah, dan lain sebagainya. Namun, ia menekankan, poin yang cukup penting dari produk asuransi syariah ada pada akad dan prinsipnya seperti tolong menolong, tidak ada aspek perjudian, hingga ada pemberian surplus underwriting.

|Baca juga: OECD Prediksi Ekonomi Indonesia Melambat Jadi 4,9% di 2025, Apa Biang Keroknya?

“Itu yang perlu ditekankan. Kami melihatnya yang perlu ditekankan adalah bagamana produk itu dikelola dan dikonsep secara syariah,” tegasnya.

Akan tetapi, ia tidak menampik perusahaan asuransi syariah baik yang jiwa maupun syariah memang perlu mengeluarkan produk yang khas syariah. Hal itu lantaran pertama, ada keterbatasan variasi dan inovasi produk. Sebagian besar produk asuransi syariah masih cenderung mengikuti pola asuransi konvensional yang disyariahkan (Islamic window).

“Hal ini menyebabkan kurangnya produk yang benar-benar unik dan dirancang sesuai prinsip syariah secara menyeluruh, sehingga belum sepenuhnya menjawab kebutuhan spesifik masyarakat Muslim yang menginginkan perlindungan sesuai kaidah Islam,” ucapnya.

Kedua, kurangnya pemahaman dan literasi asuransi syariah. Meskipun Indonesia memiliki populasi Muslim terbesar di dunia yakni sekitar 85 persen dari 270 juta jiwa, namun banyak masyarakat yang belum memahami perbedaan mendasar antara asuransi syariah dan konvensional. Minimnya edukasi menyebabkan rendahnya minat terhadap produk asuransi syariah.

Ketiga, kebutuhan produk yang lebih terjangkau dan fleksibel. Dengan pendapatan per kapita sekitar Rp78,62 juta pada 2024, asuransi masih dianggap sebagai kebutuhan tersier bagi sebagian besar masyarakat.

“Produk asuransi syariah yang ada perlu didesain lebih fleksibel dan terjangkau untuk memenuhi kebutuhan berbagai segmen ekonomi, terutama masyarakat menengah ke bawah,” ucapnya.

|Baca juga: OJK Meluncurkan Portal Data dan Metadata Sektor Jasa Keuangan Terintegrasi

|Baca juga: Vivin Arbianti Kini Hijrah ke Asuransi Syariah

Keempat, keterbatasan Sumber Daya Insani (SDI). Profesional yang memiliki keahlian teknis di bidang asuransi syariah masih sangat terbatas. Hal ini berdampak pada inovasi produk dan kualitas layanan yang ditawarkan kepada nasabah.

Kelima, pengembangan teknologi dan data. Asuransi syariah masih memerlukan investasi besar dalam riset, pengembangan, dan pemanfaatan teknologi digital. Dengan optimalisasi teknologi, asuransi syariah dapat menawarkan produk yang lebih personal, efisien, dan sesuai kebutuhan individu maupun bisnis.

Editor: Angga Bratadharma

| Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Related Posts
Prev Post IHSG Pulih di Sesi I Rabu Usai Anjlok Dalam
Next Post Harga Emas Terus Menguat di Tengah Gejolak Timur Tengah

Member Login

or