Media Asuransi, JAKARTA – Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) melalui laporan OECD Economic Outlook, Interim Report Maret 2025 memproyeksikan ekonomi Indonesia tumbuh 4,9 persen pada 2025 atau turun dari proyeksi sebelumnya di 5,2 persen.
“Pertumbuhan ekonomi Indonesia diproyeksikan tumbuh sebesar 4,9 persen pada 2025 dan 5,0 persen pada 2026,” demikian laporan OECD, dikutip Rabu, 19 Maret 2025.
OECD mencatat Indonesia bukan satu-satunya negara yang mengalami tekanan. Negara-negara di kelompok G20 juga menghadapi tantangan yang sama. Namun, bagi Indonesia, ketergantungan pada ekspor komoditas dan investasi infrastruktur menjadi faktor yang bisa memperbesar dampak perlambatan ekonomi global.
|Baca juga: Sompo Insurance Tekan Rasio Klaim Asuransi Kesehatan di Bawah 75%, Begini Caranya!
|Baca juga: Sri Mulyani: Saya Ada di Sini dan Tidak Mundur
Meskipun konsumsi domestik masih menjadi penopang utama, namun pertumbuhan sektor manufaktur dan hilirisasi sumber daya alam dinilai belum cukup untuk mengimbangi pelemahan ekspor.
Selain itu, meskipun stabilitas pasar tenaga kerja dan kenaikan upah minimum dapat menjaga daya beli masyarakat, tetapi masih ada risiko daya beli yang tergerus jika inflasi kembali naik atau harga barang kebutuhan meningkat tajam.
OECD memperkirakan inflasi Indonesia akan tetap terkendali di 1,8 persen pada 2025 sebelum naik menjadi 2,8 persen pada 2026. Meski relatif rendah dari rata-rata negara G20, namun tekanan inflasi bisa datang dari harga pangan global dan pelemahan nilai tukar rupiah, yang berisiko meningkatkan harga barang impor.
Jika tidak diantisipasi dengan baik, ini bisa menekan daya beli masyarakat lebih dalam.
Dari sisi fiskal, pemerintah memang masih mampu menjaga defisit anggaran tetap terkendali. Namun, ruang untuk ekspansi fiskal semakin terbatas, terutama jika penerimaan pajak tidak meningkat secara signifikan.
OECD mengingatkan ketergantungan pada pendapatan dari sektor tertentu, seperti sumber daya alam, membuat ekonomi Indonesia rentan terhadap fluktuasi harga komoditas di pasar global.
|Baca juga: CEO BMS Ungkap Rahasia Sukses yang Jarang Diketahui Pemimpin Lain!
|Baca juga: OJK Meluncurkan Portal Data dan Metadata Sektor Jasa Keuangan Terintegrasi
OECD juga menyoroti ketimpangan keterampilan tenaga kerja sebagai salah satu ancaman bagi daya saing Indonesia. Tanpa perbaikan dalam pendidikan vokasi dan pelatihan industri, produktivitas tenaga kerja bisa stagnan, membuat Indonesia sulit bersaing dengan negara-negara lain dalam menarik investasi di sektor manufaktur dan teknologi.
Selain itu, OECD melihat sektor digital dan ekonomi hijau sebagai peluang, tetapi belum menjadi solusi instan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi dalam waktu dekat.
Pemanfaatan teknologi digital memang bisa mempercepat transformasi bisnis, tetapi infrastruktur digital dan regulasi yang mendukung masih perlu diperbaiki. Sementara itu, transisi ke ekonomi hijau butuh investasi besar yang tidak bisa dilakukan dalam waktu singkat.
Dengan berbagai tantangan ini, lanjut OECD, meski ekonomi Indonesia diprediksi masih tumbuh, namun risiko perlambatan bisa lebih besar jika kondisi global semakin tidak menentu.
Pemerintah dan pelaku usaha dinilai perlu bersiap menghadapi kemungkinan guncangan yang lebih kuat, baik dari faktor eksternal seperti kebijakan dagang global maupun dari dalam negeri seperti tekanan fiskal dan daya beli masyarakat yang melemah.
Editor: Angga Bratadharma
| Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

