Media Asuransi, GLOBAL – Pertumbuhan asuransi parametrik di kawasan Asia-Pasifik dinilai masih terbatas. Hal itu terjadi meski produk ini digadang-gadang sebagai solusi inovatif dalam meningkatkan ketahanan terhadap bencana iklim.
Dikutip dari Insurance Asia, Jumat, 18 Juli 2025, sejumlah tantangan seperti rendahnya pemahaman, insentif agen yang minim, serta persoalan kepercayaan publik menjadi penghambat utama adopsi asuransi ini.
|Baca juga: Inilah 106 Perusahaan Perasuransian Peraih Market Leaders
|Baca juga: BRI (BBRI) Luncurkan BRILiaN Way Upaya untuk Bentuk Budaya Kerja yang Unggul
“Asuransi parametrik memang cepat dalam membayar klaim, tapi bukan berarti tanpa celah. Pembayaran klaim dilakukan berdasarkan indikator yang ditentukan sebelumnya, bukan dari kerusakan aktual. Di sini risiko basis muncul,” ujar Kepala Unit Capital Markets and Insurance Practice Team di Finance Sector Group Asian Development Bank (ADB) Arup Chatterjee.
Ia mencontohkan peristiwa Badai Rai yang menghantam Filipina pada 2021, meski lebih dari 1,2 juta bangunan rusak, sebagian polis asuransi parametrik tidak melakukan pembayaran karena kecepatan angin saat itu tidak mencapai ambang batas yang ditetapkan.
“Ketiadaan pembayaran seperti ini menimbulkan masalah kepercayaan yang besar,” ujarnya.
Dari sisi agen, minat untuk memasarkan produk ini juga masih rendah. Menurut Chatterjee, produk asuransi parametrik dinilai terlalu rumit untuk dijelaskan ke nasabah, sementara komisinya juga tidak menarik.
|Baca juga: Berikut Pemenang Market Leaders Asuransi Jiwa 2025
|Baca juga: Jasindo Raih Penghargaan Market Leaders Atas Kinerja Baik dan Transformasi Berkelanjutan
“Bagi perusahaan asuransi, fokus pada produk indemnity konvensional juga bisa membuat mereka kehilangan segmen pasar yang lebih menguntungkan ke pemain asuransi parametrik. Ini bisa mempersempit margin dan menekan profitabilitas,” jelasnya.
Perusahaan reasuransi pun masih bersikap hati-hati. Masalah kualitas data, keandalan model, serta risiko reputasi dinilai lebih sulit dihitung dibandingkan dengan produk asuransi tradisional. Terlebih, banyak negara berkembang yang belum memiliki infrastruktur manajemen risiko yang memadai, ditambah dengan biaya data yang tinggi.
Meski demikian, industri ini tetap menunjukkan pertumbuhan. Asuransi parametrik secara global tumbuh 19,2 persen per tahun, dari nilai pasar US$2 miliar pada 2015 menjadi US$15,1 miliar saat ini. Dari jumlah tersebut, Asia-Pasifik menyumbang sekitar US$2 hingga US$3 miliar, terdorong oleh peningkatan frekuensi bencana iklim dan membaiknya kapabilitas data.
Pemerintah di sejumlah negara juga mulai merespons tantangan ini. Chatterjee menyampaikan hingga 2025 terdapat setidaknya 19 yurisdiksi yang tengah memperbarui regulasi guna mendukung pengembangan asuransi parametrik dan obligasi bencana.
|Baca juga: Great Eastern Life Indonesia Konsisten Menjadi Market Leaders Tiga Tahun Berturut
|Baca juga: Ini Peraih Market Leaders Asuransi Umum 2025
Negara-negara seperti India, China, Mongolia, dan Fiji disebut telah mulai menguji coba model-model baru, sementara Singapura dan Hong Kong aktif mendorong penerbitan obligasi bencana melalui berbagai insentif.
Di Indonesia, program bencana parametrik nasional bahkan telah mencakup 11 juta aset publik. Namun demikian, Chatterjee menegaskan, untuk mendorong pertumbuhan lebih lanjut, dibutuhkan peningkatan kualitas data, pemicu yang lebih cerdas, serta komunikasi dan literasi keuangan yang lebih transparan.
Editor: Angga Bratadharma
| Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News