Media Asuransi, JAKARTA – Kebijakan nilai tukar Bank Indonesia (BI) terus diarahkan untuk menjaga stabilitas rupiah dari dampak menguatnya dolar AS secara luas. Indeks nilai tukar dolar AS terhadap mata uang utama (DXY) menguat tajam mencapai level tertinggi 106,25 pada tanggal 16 April 2024, atau mengalami apresiasi 4,86 persen dibandingkan dengan level akhir tahun 2023.
“Semakin kuatnya dolar AS juga didorong oleh melemahnya sejumlah mata uang dunia seperti Yen Jepang dan Yuan China,” kata Gubernur BI, Perry Warjiyo, dalam jumpa pers secara daring, Rabu, 24 April 2024.
Dia tambahkan, perkembangan ini memberikan tekanan depresiasi kepada hampir seluruh mata uang dunia, termasuk nilai tukar rupiah. Yen Jepang dan Dollar New Zealand masing-masing melemah 8,91 persen year to date (ytd) dan 6,12 persen ytd. Sementara itu mata uang kawasan, seperti Baht Thailand dan Won Korea masing-masing melemah 7,88 persen ytd dan 6,55 persen ytd.
|Baca juga: Penutupan Perdagangan: IHSG Merekah, Rupiah Melempem!
Pelemahan Rupiah sampai dengan 23 April 2024 tercatat lebih rendah yakni 5,07 persen ytd. “Bank Indonesia terus memperkuat kebijakan stabilisasi nilai tukar Rupiah dengan mengoptimalkan seluruh instrumen moneter yang tersedia, baik melalui intervensi di pasar valas secara spot dan DNDF, pembelian SBN dari pasar sekunder apabila diperlukan, pengelolaan likuiditas secara memadai, maupun langkah-langkah lain yang diperlukan,” tegas Gubernur BI.
Strategi operasi moneter pro-market melalui instrumen SRBI, SVBI, dan SUVBI terus dioptimalkan guna menarik masuknya aliran portofolio asing dari luar negeri. Bank Indonesia juga terus memperkuat koordinasi dengan pemerintah, perbankan, dan dunia usaha untuk mendukung implementasi instrumen penempatan valas Devisa Hasil Ekspor Sumber Daya Alam (DHE SDA) sejalan dengan PP Nomor 36 Tahun 2023.
Perry mengakui bahwa ketidakpastian pasar keuangan global semakin buruk akibat eskalasi ketegangan geopolitik di Timur Tengah. Investor global memindahkan portfolionya ke aset yang lebih aman khususnya mata uang dolar AS dan emas, sehingga menyebabkan pelarian modal keluar dan pelemahan nilai tukar di negara berkembang semakin besar.
Gubernur BI menjelaskan bahwa risiko terkait arah penurunan FFR dan dinamika ketegangan geopolitik global akan terus dicermati karena dapat mendorong berlanjutnya ketidakpastian pasar keuangan global. Selain itu juga meningkatnya tekanan inflasi dan menurunnya prospek pertumbuhan ekonomi dunia.
|Baca juga: Nilai Tukar Rupiah Diproyeksikan Rp14.900-Rp15.300 per Dolar AS
“Kondisi ini memerlukan respons kebijakan yang kuat untuk memitigasi dampak negatif dari rambatan ketidakpastian global tersebut terhadap perekonomian di negara-negara berkembang, termasuk di Indonesia,” tuturnya.
Menurut Perry, untuk memperkuat respons kebijakan moneter dalam pengendalian inflasi dan stabilitas nilai tukar rupiah, Bank Indonesia terus mengoptimalkan strategi operasi moneter pro-market. Dalam kaitan ini, Bank Indonesia terus mengoptimalkan berbagai instrumen moneter pro-market yang telah diterbitkan selama tahun 2023, yaitu SRBI, SVBI, dan SUVBI untuk memperkuat upaya pendalaman pasar uang dan aliran masuk modal asing ke dalam negeri sehingga mendukung stabilisasi nilai tukar Rupiah.
Hingga 23 April 2024, posisi instrumen SRBI tercatat sebesar Rp393,66 triliun, SVBI sebesar, US$1,89 miliar, dan SUVBI tercatat US$334 juta. Penerbitan SRBI tersebut mendukung aliran masuk portfolio asing ke dalam negeri, tecermin dari kepemilikan nonresiden pada instrumen SRBI yang mencapai Rp71,55 triliun atau 18,18 persen dari total outstanding.
“Bank Indonesia akan terus mengoptimalkan berbagai inovasi instrumen pro–market tersebut baik dari sisi volume maupun daya tarik imbal hasil untuk mendorong lebih lanjut aliran masuk portfolio asing ke pasar keuangan domestik,” jelas Gubernur BI.
Editor: S. Edi santosa
| Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News