1
1

Pelemahan Rupiah dan Asuransi Warisan Berbasis Valas

Senior Actuarial Officer, PT AIA Finansial Christian Evan Chandra. | Foto: doc

Oleh: Christian Evan Chandra

Baru-baru ini, nilai tukar rupiah melemah hingga menembus kurs Rp16.000 per dolar AS. Daya beli uang rupiah pun merosot untuk pembelanjaan barang-barang di luar negeri, barang impor dari luar negeri, dan barang yang banyak mengandalkan bahan baku impor dari luar negeri. Tentu muncul rasa penasaran bagi sebagian orang, mengapa asuransi warisan yang saat ini tersedia cenderung tidak menyediakan opsi bermata uang asing.

Produk asuransi warisan kembali menggeliat setelah performa investasi subdana unitlink kurang memadai selama terpukul pandemi Covid-19. Ditambah dengan Surat Edaran OJK untuk memperbaiki pengalaman pelanggan soal Produk Asuransi Yang Dikaitkan dengan Investasi (PAYDI) yang suka tidak suka memperpanjang proses penjualan polis PAYDI, baik nasabah maupun perusahaan asuransi kini lebih banyak tertarik pada produk tradisional. Khususnya produk tradisional nonpartisipasi dengan manfaat yang lebih pasti dibandingkan terhadap produk asuransi tradisional partisipasi yang memiliki sebagian manfaat dijamin dan sebagian lainnya tidak dijamin karena tergantung kinerja perusahaan penerbit polisnya.

Tergantung perusahaan penerbit, masa pembayaran preminya beragam mulai dari sekali bayar hingga lebih dari sepuluh tahun. Untuk menarik minat nasabah, perusahaan asuransi berinovasi dengan kenaikan uang pertanggungan seiring berjalannya waktu sebagai perlindungan atas inflasi. Manfaat di tengah jalan berupa kupon juga mungkin diberikan untuk dana pensiun.

Ciri dari asuransi pensiun ini adalah proteksi asuransinya tergolong sederhana (biasanya mencakup manfaat kematian saja) dengan keberadaan manfaat jatuh tempo sebesar uang pertanggungan terakhir ketika tertanggung masih hidup, atau usia akhir pertanggungan sangat panjang sehingga sangat kecil kemungkinan tertanggung masih hidup pada saat itu.

Tidak murahnya premi relatif terhadap besar uang pertanggungan dan cakupan pertanggungan yang terbatas pada risiko kematian serta manfaat jatuh tempo dan kupon, membuat produk ini lebih cocok dijual ke kelompok high net worth. Preminya lebih kecil dibandingkan terhadap uang pertanggungan, selisihnya tidak dikenakan pajak, dan selisih ini sulit didapat ketika kematian datang dalam jangka waktu relatif singkat dibandingkan terhadap waktu yang dibutuhkan untuk berinvestasi dengan imbal hasil wajar. Kelompok nasabah dari kelas menengah mungkin lebih memilih asuransi jiwa berjangka atau malah produk yang diperpanjang setiap tahun (YRT), asuransi penyakit kritis, juga perlindungan rawat inap.

Produk asuransi warisan ini biasanya dibeli oleh mereka yang berada di usia produktif. Keberadaan tanggungan keluarga memperjelas kebutuhan terhadap warisan, mengingat manfaat jatuh tempo berlaku pada usia yang sudah sangat tua dan umumnya di atas 80 tahun bahkan bisa mencapai 100 tahun atau lebih. Masalahnya, meskipun sudah ada upaya memproteksi inflasi dengan kenaikan uang pertanggungan yang terencana, bisa jadi daya beli yang diharapkan terjaga kenyataannya tidak terwujud jika penerima waris memiliki kebutuhan dalam valuta asing. Misalnya, hidup di luar negeri untuk belajar, bekerja, atau berbisnis.

Pada Juni 2023 lalu, artikel terbitan Forbes Advisor menempatkan rupiah sebagai mata uang terlemah keenam di dunia. Mengutip catatan Investing.com, sejak awal tahun 2011 hingga awal tahun 2024 rupiah melemah terhadap dolar AS sedikit lebih dari empat persen per tahun secara rata-rata, dengan pelemahan terdalam tahunan antarawal tahun terjadi pada tahun 2013 ke 2014 sebesar hampir 26 persen. Belum lagi harga barang juga mengalami inflasi, sedangkan suku bunga perbankan dan imbal hasil obligasi bermata uang dolar AS cenderung lebih rendah dari rupiah.

Jaraknya selama ini cukup signifikan dan baru mendekat seiring berakhirnya pandemi Covid-19. Komponen imbal hasil investasi yang harus diakui memainkan peran cukup banyak dalam menjaga premi asuransi jiwa jangka panjang selama ini tetap terjangkau menjadi salah satu tantangan dalam melahirkan asuransi warisan berbasis valuta asing, ditambah dengan keterbatasan instrumen investasi khususnya yang berjangka panjang.

Tantangan lain adalah kesiapan perusahaan terkait aspek operasional, permodalan, dan manajemen risiko terkait polis-polis dalam valuta asing dengan transaksi dan manajemen aset dalam mata uang berbeda. Belum lagi jika polis dalam mata uang rupiah umumnya hanya terpapar risiko peningkatan biaya akibat pelemahan mata uang rupiah yang berdampak pada peningkatan beban khususnya terkait teknologi infornasi, polis dalam mata uang asing juga terpapar risiko ketika rupiah justru menguat.

Pertama, bagaimana mengalokasikan beban yang akan tetap naik untuk dipenuhi oleh polis-polis tersebut, misalnya beban operasional kantor dan gaji tenaga kerja. Kedua, tingkat persistensi dan pertumbuhan bisnis baru mungkin memburuk. Secara historis, salah satu contoh penguatan rupiah terhadap dolar AS yang cukup signifikan terjadi antarawal tahun 2009 ke 2010 sebesar hampir delapan belas persen.

Solusi yang mungkin terdengar menarik bagi konsumen adalah satu langkah lebih jauh dari program asuransi multicurrency di Hong Kong. Program tersebut memberikan opsi kepada nasabah untuk bertukar mata uang di tengah jalan berdasarkan kurs saat itu tanpa harus menutup dan membeli kembali polis, asuransi dengan opsi untuk nilai pertanggungan mana yang lebih besar dari X Rupiah dan Y dalam valuta asing, kedua besaran ditentukan tetap sejak penerbitan polis terasa cukup menarik. Tantangan mulai dari pengembangan produk, penetapan harga, penyusunan klausul polis, pemenuhan regulasi, proses valuasi liabilitas, sampai manajemen aset-liabilitas timbul mengingat kompleksitas perhitungan matematis melibatkan keberadaan opsi terkait nilai tukar mata uang.

Pada akhirnya, asuransi warisan dengan mata uang rupiah dan kenaikan terencana uang pertanggungan mungkin menjadi solusi terbaik saat ini. Mencintai mata uang sendiri dan memaksimalkan investasi dana masyarakat untuk membangun negeri tetap lebih baik ketika risiko kerugian karena menghadapi penguatan rupiah bisa dieliminasi. Besar inflasi nasional dan global memang tidak pasti, ditambah lagi volatilitas rupiah terhadap dolar AS juga tidak kecil, tetapi setidaknya terlindungi sebagian dengan premi yang masih bisa dikatakan relatif terjangkau.

 

Penulis adalah Senior Actuarial Officer, PT AIA Finansial.

 

| Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Related Posts
Prev Post Bank Saqu bersama Endeavor Indonesia Luncurkan Solopreneur Academy
Next Post Dolar AS Terus Menguat, BI Gelar Operasi Moneter Pro-Market

Member Login

or