Media Asuransi, JAKARTA – Meningkatnya pemanfaatan kecerdasan buatan atau AI dalam sektor keuangan menjadikan sistem lebih efisien dan banyak inovasi. Namun di sisi lain, AI juga memunculkan risiko baru lainnya, mulai dari serangan siber hingga penipuan digital berbasis deepfake yang semakin canggih.
Deputi Komisioner Kepala Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Institute Anung Herlianto menyampaikan kejahatan berbasis AI kini menjadi tantangan utama bagi berbagai sektor perusahaan khususnya sektor perbankan.
|Baca juga: BSI (BRIS) Tebar Dividen Rp1,05 Triliun atau 15% dari Laba 2024
|Baca juga: OJK Ramal Piutang Multifinance Tumbuh 10% di 2025 Meski Tantangan Mengintai
“AI membuat pekerja lebih efisien, tapi masalahnya adalah AI juga membuat penjahat lebih efisien,” ujar Anung, dalam paparannya di acara IBM Tech Innovation Experience di Jakarta, Selasa, 20 Mei 2025.
Lebih lanjut, dia mengungkapkan, ribuan serangan siber ke sistem keuangan terjadi setiap hari dengan nasabah menjadi titik terlemah dalam jaringan keamanan perbankan. “Bank selalu disalahkan ketika ada financial loss, padahal celah bisa saja dari koneksi ke ekosistem digital yang tidak teregulasi,” jelas Anung.
Beberapa metode kejahatan yang kerap digunakan adalah social engineering, reverse social engineering, dan deepfake. Kasus terbaru di Hong Kong menunjukkan bagaimana seorang scammer menggunakan video deepfake untuk meniru CFO perusahaan dan menipu staf keuangan agar mentransfer dana.
“Bahkan Elon Musk dan Joe Biden pun menjadi korban deepfake. Jadi ini bukan lagi hal fiksi. Fraudster sudah sangat advance dalam memanfaatkan teknologi ini,” kata Anung.
|Baca juga: Viral di Media Sosial Rekening Nasabah BCA dan Bank Jago Diblokir, PPATK Akhirnya Buka Suara!
|Baca juga: Profil Lengkap Anggoro Eko Cahyo, dari Bos BPJS Hijrah Jadi Dirut Baru BSI
Ia juga menyoroti tantangan ‘black box AI’ yang sulit diawasi. Sistem AI bekerja secara otonom dan kompleks, sehingga tak jarang bahkan pengembangnya pun tidak sepenuhnya memahami cara kerja sistem yang telah dibuatnya. Hal ini memperbesar risiko bias, diskriminasi, dan kerentanan data.
“Masalah bias gender, diskriminasi lokasi, hingga keputusan kredit yang tidak adil juga muncul karena algoritma yang tidak transparan. Itu mengapa governance dan transparansi menjadi penting,” katanya.
OJK telah menerbitkan panduan tata kelola AI yang bersifat prinsipil untuk menghadapi risiko-risiko ini. Panduan tersebut menekankan pentingnya peran dewan direksi dan komisaris dalam memahami siklus hidup AI dan mengawasi implementasinya secara menyeluruh.
Anung mengingatkan inklusi keuangan yang meningkat tidak dibarengi dengan literasi digital yang memadai, terutama di kalangan lanjut usia. “Digital literasi selalu datang terlambat. Sering kali yang punya uang banyak justru minim literasi digital, dan itu menjadi sasaran empuk para pelaku penipuan,” katanya.
|Baca juga: Kebijakan Moneter BI Diperkirakan Tetap Akomodatif Sepanjang 2025
|Baca juga: Asperindo Dukung Permen Komdigi tentang Aturan Free Ongkir
Lebih lanjut, dia mengajak semua pihak untuk bergerak bersama dalam menghadapi tantangan tersebut. Menurutnya teknologi bersifat tak terhentikan sehingga regulator dan pelaku industri harus bergerak searah. Jika tidak, ia menilai, nasabah bisa saja beralih dan menggantikan mereka.
“Teknologi itu unstoppable. Kita harus berjalan di arah yang sama, baik regulator maupun pelaku industri. Kalau tidak, nasabah akan mengganti kita,” pungkasnya.
Editor: Angga Bratadharma
| Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News