Media Asuransi, JAKARTA – Global Head of Index Classes Inver Re Tom Johansmeyer mengatakan dengan meningkatnya bencana alam di berbagai negara berkembang di Asia maka penerapan asuransi dan reasuransi parametrik tampaknya merupakan hal yang alamiah untuk kawasan Asia.
Sebuah whitepaper yang ditulis oleh Johansmeyer dikutip dari laman Reinsurance News, Rabu, 24 April 2024, menjelaskan bahwa meskipun asuransi tradisional biasanya membutuhkan data historis seputar penetrasi, pengeluaran premi, dan kerugian, reasuransi parametrik tidak perlu berurusan dengan kendala-kendala ini.
|Baca: Asuransi Siber Mulai Jadi Primadona di Hong Kong saat Kejahatan Digital Merebak
Tidak seperti asuransi tradisional, pertanggungan parametrik bergantung pada sumber data eksternal untuk menunjukkan besarnya peristiwa pemicu. Hasilnya, reasuransi parametrik dapat menjadi pengubah permainan yang efektif di wilayah yang sering mengalami bencana alam, seperti Asia.
Whitepaper ini menyoroti bagaimana secara umum di Asia, tidak termasuk Jepang, Korea Selatan, dan negara-negara kaya lainnya di kawasan ini, data menunjukkan bahwa 1.267 peristiwa bencana alam terjadi selama periode 10 tahun yang berakhir pada 2023, yang berdampak pada hampir satu miliar orang.
Intensifkan risiko
Pada saat yang sama, perubahan iklim tampaknya mengintensifkan risiko ini dan memperkuat dampaknya di tahun-tahun mendatang, yang pada akhirnya membuat beberapa orang yang paling rentan di dunia menjadi lebih rentan terhadap peristiwa bencana alam yang lebih sering dan lebih kuat.
Lonjakan aktivitas bencana alam juga meningkatkan biaya remediasi, sebuah isu besar yang mengancam untuk memperpanjang penderitaan yang terkait dengan bencana, dan membebani perekonomian yang tidak mampu menanggung biaya lebih lanjut.
|Baca juga: Perempuan Ambil Peran Penting di Industri Perasuransian
Johansmeyer mencatat biaya untuk mengelola bencana alam sudah tinggi, dan menurut perkiraan dalam basis data bencana alam EM-DAT, satu dekade terakhir telah menelan biaya lebih dari US$400 miliar bagi negara-negara Selatan di Asia, yang telah disesuaikan dengan inflasi.
“Oleh karena itu, jika Anda mengambil rata-rata 2014-2022 dan menggunakannya untuk 2023 maka total 10 tahun tersebut mencapai lebih dari US$460 miliar, angka yang sangat tinggi,” pungkasnya.
Editor: Angga Bratadharma
| Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News