Media Asuransi, JAKARTA — Pemerintah mengaku masih menghadapi tantangan besar dalam menangani praktik judi online (judol) yang beroperasi dari luar negeri namun menyasar pengguna di Indonesia.
Direktur Pengawasan Sertifikasi dan Transaksi Elektronik Kementerian Komunikasi Digital (Komdigi) Teguh Arifiyadi menyebut perbedaan hukum antarnegara menjadi hambatan utama dalam upaya penindakan secara langsung.
|Baca juga: Komdigi Klaim Punya Database Berisi Ratusan Ribu Rekening dan Nomor HP Terindikasi Judol
“Bagaimana mitigasinya kalau ini berkaitan dengan yurisdiksi negara lain? Ternyata di kawasan negara lain ya termasuk di Malaysia, judi itu masih ada yang dibolehkan. Hanya memang skalanya beda-beda. Ada yang bolehkan hanya offline-nya saja, bisa berupa kasino dan lain-lain,” ujar Teguh, dalam konferensi pers, di Jakarta, Kamis, 3 Juli 2025.
“Ada yang bahkan online-nya boleh. Tapi mereka buat batasan, boleh untuk operasional, tapi tidak boleh target pasarnya adalah negara mereka yang dijadikan tempat beroperasi,” tambahnya.
Ia menambahkan kondisi ini bukan sekadar kesulitan, tapi menjadi tantangan kompleks yang melibatkan banyak aspek lintas sektor, termasuk ketenagakerjaan dan keuangan lintas negara. Salah satunya karena banyak pekerja migran Indonesia yang kini bekerja di negara-negara yang memberikan ruang terhadap praktik judi online.
|Baca juga: Dukung Visi Asta Cita Pemerintah, BRI (BBRI) Perkuat Transformasi Bisnis Lewat BRIvolution 3.0
|Baca juga: Sri Mulyani Pede APBN 2025 Tetap Sehat dan Kredibel Hadapi Ketidakpastian Global
“Banyak pekerja migran kita yang bekerja di negara-negara yang tanda kutip memberikan ruang bagi operasional judi online. Dan itu jumlahnya banyak sekarang,” ungkapnya.
Selain itu, tantangan lain datang dari perubahan metode transaksi. Jika sebelumnya dana hasil judol disimpan atau ditransfer ke rekening bank lokal di Indonesia, kini modusnya mulai bergeser ke penggunaan aset kripto yang lebih sulit dilacak dan penuh tantangan.
“Kalau dulu, orang main judol uangnya itu dikirim ataupun di deposit di rekening-rekening kita (di Indonesia). Sekarang, mereka geser kumpulan uang tadi dikirim ke crypto address. Akhirnya apa? Mereka tahu melacak kripto jauh lebih rumit dibandingkan dengan melacak rekening,” katanya.
Menurut Teguh, aliran uang dari hasil judi online ini yang kini banyak dikirim ke luar negeri melalui kripto, yang membuat upaya pelacakan oleh aparat penegak hukum Indonesia semakin kompleks dan lambat.
Langkah kerja sama antarnegara pun diakui belum optimal. Teguh mengatakan hambatannya bukan hanya pada koordinasi antarnegara, tapi juga perbedaan instrumen hukum masing-masing negara. “Kerja sama antarnegara ini lebih rumit. Karena tadi, karena instrumen hukumnya beda. Mereka bilang judol boleh (legal), kita bilang tidak (ilegal),” jelasnya.
Untuk menyiasatinya, Pemerintah Indonesia saat ini lebih fokus pada pendekatan preventif. Salah satu cara yang dilakukan adalah membatasi akses alamat IP dari negara-negara yang dicurigai sebagai sumber aktivitas judi online.
|Baca juga: Menaker Pede Kopdes Merah Putih Menyerap 2 Juta Tenaga Kerja, Ini Strateginya!
|Baca juga: 2 Calon Deputi Gubernur BI Jalani Uji Kelayakan di DPR
“Kita membatasi akses IP, misalnya. Internet Protokol alamat internet kan berasal dari negara-negara yang suspect, terkait dengan judi online, kita batasi IP-nya, (biar) yang boleh akses yang tertentu saja,” ujar Teguh.
Namun, pendekatan ini tidak sepenuhnya efektif karena pelaku dapat dengan mudah menyamarkan lokasi server melalui teknik demasking IP. “Yang harusnya, misalnya, negaranya X, demasking lagi IP-nya jadi negara Y. Yang diblokir X, yang Y masih lolos. Jadi itu satu tantangan. Itu memang masih menjadi hal yang harus dipikirkan ke depan,” pungkasnya.
Editor: Angga Bratadharma
| Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News