1
1

Perekonomian Indonesia Diprediksi Masih Lesu

Investment Specialist MAMI, Dimas Ardhinugraha. | Foto: Manulife Aset Manajemen Indonesia

Media Asuransi, JAKARTA – PT Manulife Aset Manajemen Indonesia (MAMI) menengarai beberapa indikator terkini memberi sinyal bahwa perekonomian Indonesia masih cukup lesu. Data di kuartal II/2025 menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi cukup lemah.

Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) di bulan Mei turun ke level terendah sejak tahun 2022, yakni 117,5. Penurunan terjadi merata di semua segmen masyarakat, bukan hanya di segmen tertentu.

Penjualan mobil tahun berjalan sampai bulan Mei tercatat hanya 317 ribu unit, turun lima persen year on year (yoy). Bahkan lebih rendah dibandingkan lima bulan pertama 2021 pada saat puncak pandemi Covid-19, yakni sebanyak 321 ribu unit.

|Baca juga:Tarif Trump yang Baru, Belum Pengaruhi Pasar Domestik

Dari sisi produsen,  indeks PMI manufaktur tiga bulan terakhir berada di zona kontraksi. Bulan April di level 46.7, Mei meningkat sedikit ke 47.4, dan di bulan Juni kembali turun ke 46.9. Sedangkan pertumbuhan kredit bulan Mei tercatat sebesar 8,1 persen yoy. Bank Indonesia (BI) merevisi target pertumbuhan kredit tahun ini dari sebelumnya di kisaran 11-13 persen menjadi 8-11 persen.

Menurut Investment Specialist MAMI, Dimas Ardhinugraha, rangkaian data tiga bulan terakhir yang cukup konsisten mengafirmasi momentum pertumbuhan ekonomi yang lemah. “Namun data ini seharusnya sudah diperhitungkan atau priced in oleh pasar, sehingga jika data pertumbuhan PDB kuartal kedua nanti masih cenderung stagnan, diharapkan dampaknya pada sentimen pasar akan terbatas,” katanya dalam keterangan resmi, Kamis, 10 Juli 2025.

Sementara itu mengenai konsumsi yang saat ini cenderung lemah, menurut Dimas, salah satu faktor utama yang disinyalir menjadi penyebab lemahnya konsumsi adalah peningkatan angka pemutusan hubungan kerja atau PHK. Data Kemenaker menyebutkan per April sebesar 24 ribu, lebih tinggi dari periode yang sama tahun lalu sebanyak 18 ribu.

|Baca juga: Ini Alasan Investor Ritel Wajib Memahami Dinamika Ekonomi Global

Dia perkirakan, sangat mungkin ada hubungannya dengan PHK, saat ini juga sedang terjadi tren peningkatan jumlah pekerja informal yang pendapatannya tidak tetap dan tidak memiliki jaminan atau perlindungan sosial. Saat ini jumlahnya 59,4 persen dari total angkatan kerja, lebih tinggi dibandingkan angka rata-rata sebelum pandemi di kisaran 57 persen.

“Individu-individu yang baru mengalami PHK dan atau bekerja secara informal tentu cenderung untuk mengurangi belanja,” tuturnya.

Dia menambahkan, saat ini yang lebih penting untuk ditangani pemerintah adalah akar permasalahannya, mengapa banyak peningkatan PHK. Dimas memperkirakan salah satu faktor utamanya adalah penurunan daya saing dan kompetisi ketat dengan produk-produk impor yang murah dan secara kualitas mampu menciptakan value for money menarik.

|Baca juga:Bos BEI: Akuntan Jadi Mitra Strategis Hadapi Ketidakpastian Ekonomi Global

“Kondisi ini membuat industri manufaktur Indonesia banyak mengalami tantangan, terutama akan sangat terasa dampaknya di sektor-sektor padat karya,” katanya.

Di sisi lain, BI pada bulan Juni lalu memutuskan untuk mempertahankan BI Rate di 5,5 persen, namun memberi sinyal dovish mencermati ruang dan waktu yang tepat untuk mengambil kebijakan pelonggaran moneter. Dimas menilai, pemangkasan lanjutan akan mempertimbangkan dinamika kondisi global, terutama dampaknya terhadap stabilitas rupiah.

BI dianggap memahami bahwa walaupun sepanjang tahun berjalan sudah menurunkan suku bunga acuan 50 bps, ternyata  likuiditas pasar masih relatif ketat dipengaruhi oleh ekonomi domestik yang lemah dan tingginya minat terhadap SBN. “Konsensus pasar memperkirakan di paruh kedua 2025 ini BI akan kembali menurunkan BI Rate di kisaran 50 bps (basis points), dan pandangan kami pun cukup sejalan. Kami perkirakan sampai akhir tahun nanti BI Rate akan berada di kisaran 5,00-5,25 persen,” jelasnya.

Lebih lanjut Dimas mengatakan bahwa di tengah potensi melemahnya pertumbuhan ekonomi global dan domestik, belanja negara diharapkan menjadi bantalan penopang. Di bulan Juni realisasi belanja negara menunjukkan akselerasi, yakni belanja pemerintah pusat tumbuh 0,6 persen yoy di semester I/2025, dibandingkan posisi per Mei 2025 yang turun 15,8 persen yoy.

Akselerasi belanja di semester kedua ini diperkirakan dapat terus terjadi, didukung oleh sudah selesainya realokasi APBN, adanya stimulus jilid-2 senilai Rp24,4 triliun, dan pembayaran gaji ke-13 ASN sebesar Rp49,4 triliun di periode Juni-Juli.

Editor: S. Edi Santosa

 

| Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Related Posts
Prev Post AdMedika Hadirkan Integrasi SIM Healthical dan AdKes untuk Solusi Digitalisasi Kesehatan
Next Post Asuransi Jasindo Raih Penghargaan Indonesia Original Brand 2025

Member Login

or