Media Asuransi, JAKARTA – Hujan deras yang mengguyur berbagai wilayah Indonesia di tengah musim mengejutkan banyak pihak. Dalam sepekan terakhir, intensitas curah hujan tercatat sangat tinggi di sejumlah wilayah di Jabodetabek serta beberapa daerah di Sumatera dan Papua Barat. Fenomena ini disebut sebagai anomali oleh para ahli, karena terjadi di luar pola iklim yang biasa.
BMKG menyebutkan bahwa kondisi ini dipicu oleh beberapa faktor sekaligus. Faktor-faktor tersebut meliputi sirkulasi siklonik di wilayah Bengkulu, badai tropis di utara Indonesia, hingga pengaruh aktivitas Madden Julian Oscillation (MJO) yang menguatkan potensi pembentukan awan hujan. Suhu permukaan laut yang masih hangat juga memperkuat kelembaban atmosfer, membuat sebagian besar wilayah Indonesia, termasuk di selatan khatulistiwa, masih diguyur hujan meski secara kalender berada dalam musim kemarau.
|Baca juga: Indonesia Re Siapkan Diri sebagai Induk Holding Reasuransi BUMN
“Perubahan iklim telah memaksa kita untuk berpikir ulang soal pendekatan perlindungan risiko. Tidak cukup hanya menyiapkan mitigasi teknis, tapi juga perlu memastikan ada dukungan finansial yang tangguh saat bencana benar-benar terjadi,” ungkap Direktur Teknik dan Operasi Indonesia Re, Delil Khairat, dalam keterangan resminya, Jumat, 11 Juli 2025.
Tak hanya itu, lanjut Delil, edukasi terhadap pentingnya risk awareness dan literasi iklim juga menjadi agenda penting bagi sektor keuangan. Kolaborasi antara pemerintah, industri asuransi, dan masyarakat perlu diperkuat agar pelindungan terhadap risiko tidak hanya hadir saat bencana terjadi, tetapi telah dipersiapkan jauh sebelumnya.
Sebagai Direktur Teknik dan Operasi Indonesia Re, mewakili perusahaan reasuransi nasional yang aktif mengembangkan skema proteksi risiko berbasis iklim, Delil menjelaskan, di balik dinamika cuaca ini, ada risiko bencana yang tidak boleh dianggap remeh: banjir, tanah longsor, angin kencang, hingga banjir rob di wilayah pesisir.
“Situasi ini membuat masyarakat, pelaku usaha, hingga pemangku kebijakan perlu meninjau kembali kesiapan mereka menghadapi risiko dari fenomena hidrometeorologi yang semakin sulit diprediksi,” terangnya.
Dalam konteks inilah, pentingnya pelindungan finansial terhadap bencana kembali menjadi sorotan. Di sektor asuransi, upaya memperkuat pelindungan risiko bencana terus dikembangkan. Salah satu pendekatan yang kini sedang dikembangkan adalah skema Asuransi Parametrik, sebuah model proteksi yang memungkinkan klaim dibayarkan secara otomatis berdasarkan parameter cuaca tertentu, seperti curah hujan atau tinggi genangan banjir.
Menurutnya, solusi ini dinilai semakin relevan di tengah ketidakpastian iklim, karena mampu memberikan manfaat dengan cepat, terukur, dan berbasis data objektif. Produk seperti ini telah mulai diadopsi oleh pelaku reasuransi nasional sebagai bagian dari inisiatif memperluas jangkauan proteksi bencana di seluruh daerah.
Editor: S. Edi Santosa
| Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News