Media Asuransi, JAKARTA – Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menegaskan siap mendorong peranan asuransi kesehatan swasta di Indonesia untuk berkontribusi lebih besar terhadap belanja kesehatan nasional. Hal itu penting guna meningkatkan kesehatan masyarakat dan imbasnya terhadap pertumbuhan asuransi kesehatan Tanah Air.
Kepala Eksekutif Pengawas Perasuransian, Penjaminan, dan Dana Pensiun OJK Ogi Prastomiyono menyebutkan berdasarkan data dari Kementerian Kesehatan (Kemenkes) pada 2023 tercatat total belanja sebesar kurang lebih Rp615 triliun.
|Baca juga: Bank Danamon (BDMN) Dapat Restu Jadi Induk Konglomerasi Keuangan MUFG di Indonesia
|Baca juga: Sah! OJK Restui Adi Pramana sebagai Presdir Tugu Insurance (TUGU)
“Nah, yang asuransi kesehatan swasta atau komersial itu hanya berkontribusi lima persen yaitu sekitar Rp30 triliun di 2023. Diharapkan bahwa kontribusi asuransi kesehatan swasta itu di tahun-tahun ke depan lebih berperan dan kontribusinya lebih meningkat,” kata Ogi, dalam konferensi pers RDKB OJK, Selasa, 8 Juli 2025.
Guna memaksimalkannya, lanjut Ogi, OJK berencana menerbitkan POJK Ekosistem Asuransi Kesehatan untuk menggantikan SEOJK Nomor 7 Tahun 2025. Ia menjelaskan regulasi berupa POJK dirancang untuk memperkuat landasan hukum dan memperluas cakupan pengaturan dalam penyelenggaraan asuransi kesehatan dan ekosistem dengan stakeholder lainnya.
“Bahwa terkait dengan co-payment itu adalah hanya salah satu dalam upaya untuk penguatan asuransi kesehatan. Sepertinya ada tiga hal lain (yang masuk di POJK Ekosistem Asuransi Kesehatan) untuk membangun kapabilitas dari industri asuransi kesehatan yang perlu dilakukan terus menerus,” kata Ogi.
|Baca juga: Asuransi Kesehatan Dinilai Paling Menguntungkan oleh Masyarakat, Ini Alasannya!
|Baca juga: Begini Cara BTN (BBTN) Dukung Pertumbuhan Sektor Perumahan dan Ekonomi Lokal
Ketiga hal yang dimaksudkan yakni OJK siap mendorong pelaksanaannya di setiap perusahaan asuransi yaitu terkait kapabilitas digital guna mendukung efisiensi operasional dan kolaborasi data dengan fasilitas kesehatan. Kedua, kapabilitas medis untuk memastikan layanan kesehatan yang diberikan sesuai clinical pathways dan penggunaan obat yang berbasis medical efficacy.
“Kemudian (ketiga) pembentukan Medical Advisory Board atau MAB sebagaimana mekanisme penjaminan mutu dan pertimbangan klinis dalam layanan asuransi kesehatan,” pungkasnya.
Editor: Angga Bratadharma
| Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News