Media Asuransi, JAKARTA – Ketua Umum Asosiasi Asuransi Umum Indonesia (AAUI) Budi Herawan mengungkapkan ada dua faktor utama yang menjadi akar dari tingginya capital flight di industri reasuransi. Kedua faktor yang dimaksudkan yakni kapasitas dan kepercayaan.
Ia menjelaskan persoalan pertama terletak pada kurangnya kapasitas mitigasi risiko besar yang akan diterima oleh perusahaan reasuransi dalam negeri. Hal ini tanpa sadar menyebabkan pelaku industri lebih memilih untuk menempatkan proteksi risiko ke reasuransi luar negeri.
|Baca juga: Petinggi IFG: Pertumbuhan Premi Asuransi Terbatas tapi Diiringi Fundamental Keuangan yang Baik
Faktor kedua yang tidak kalah krusial adalah rendahnya tingkat kepercayaan terhadap kemampuan dan komitmen perusahaan reasuransi. Salah satu penyebabnya adalah keterlambatan pembayaran klaim kepada ceding company.
“Nah, ceding company ini mempunyai kewajiban 30 hari setelah ada kesepakatan harus bayar ke klien, sedangkan kita mendapat recovery ini bisa lebih dari 120 hari, sehingga arus kepercayaan ini terganggu,” kata Budi, dalam Insurace Forum, di Jakarta, dikutip Senin, 21 Juli 2025.
Untuk mengatasi kondisi ini, Budi menekankan, perusahaan reasuransi harus menguatkan struktur permodalannya. Ia bahkan mencontohkan dengan pengalaman pribadinya saat pernah menangani perusahaan reasuransi dengan kondisi modal yang lemah.
“Karena saya pernah di perusahaan reasuransi, saya membenahi suatu perusahaan reasuransi di mana struktur permodalannya sangat lemah dan saya pada waktu itu coba memperbaikinya, tapi tanpa ada modal segar ya sama aja,” imbuh Budi.
|Baca juga: Industri Asuransi RI Disebut Lemah, Proyek-proyek Besar Akhirnya ‘Terbang’ ke Luar Negeri
|Baca juga: Berikut Para Pemenang Market Leaders Pialang Reasuransi 2025
Tanpa adanya struktur modal yang kuat, masih kata Budi, perusahaan reasuransi bisa tetap mendapatkan menjalankan bisnisnya. Namun risikonya adalah Risk Based Capital (RBC) akan terganggu.
Editor: Angga Bratadharma
| Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News