1
1

Penetrasi Masih Rendah, Tarif AS Jadi Alarm Bangkitnya Asuransi Indonesia?

Ilustrasi. | Foto: Freepik

Media Asuransi, JAKARTA – Di tengah ancaman tekanan global akibat kebijakan tarif tinggi Amerika Serikat (AS), IFG Progress mengatakan industri asuransi Indonesia justru punya celah untuk tumbuh.

Meski kebijakan tersebut dinilai berisiko menekan sektor riil dan menimbulkan efek domino terhadap premi dan klaim, namun IFG Progress menilai tantangan ini bisa menjadi momentum untuk membenahi celah besar terkait rendahnya penetrasi asuransi di Indonesia.

|Baca juga: Tarif Trump Bikin Ketar-ketir, Sektor Asuransi RI Wajib Siaga Hadapi Risiko Ini!

|Baca juga: Robert Kiyosaki: 0,01 Bitcoin Bisa Buat Seseorang Sangat Kaya

Laporan IFG Progress yang bertajuk ‘Mapping Trump’s Tariff Policy Impact on Indonesia’s Insurance Sector‘ mengungkapkan tingkat penetrasi asuransi Indonesia masih stagnan dalam satu dekade terakhir.

“Dalam kurun waktu 10 tahun terakhir, penetrasi asuransi Indonesia baik dari sisi aset dan premi cenderung stagnan di level yang rendah yakni masing-masing di level sembilan persen dan 2,7 persen per 2023,” ujar laporan tersebut, dikutip Senin, 2 Juni 2025.

Di sisi lain, kebijakan proteksionisme yang digulirkan Presiden AS Donald Trump menimbulkan ketidakpastian global dan memukul sektor ekspor Indonesia, terutama elektronik, alas kaki, dan minyak nabati. Namun tekanan ini dinilai tak serta merta melumpuhkan industri asuransi.

“Melihat kondisi tersebut, keterkaitan langsung antara dinamika global seperti tarif impor AS dan kinerja sektor asuransi nasional dapat dikatakan cenderung terbatas,” tulis IFG Progress.

Sebagian besar portofolio industri asuransi Indonesia masih fokus ke pasar domestik, sehingga paparan terhadap guncangan global masih terbatas. Dengan rendahnya penetrasi dan eksposur global yang minim, Indonesia justru berada dalam posisi unik.

Peluang pertumbuhan pun dinilai masih sangat luas, terutama di lini seperti asuransi jiwa, kendaraan, maupun properti. Ketimbang hanya bertahan dari tekanan tarif, perusahaan asuransi bisa memanfaatkan kondisi ini untuk menyusun strategi perluasan pasar dan edukasi risiko yang lebih agresif.

|Baca juga: Cetak Rekor Baru, Jumlah Investor Saham di Indonesia Tembus 7 Juta SID

|Baca juga: MSIG Life (LIFE) Tunda RUPSLB terkait Pemisahan Unit Usaha Syariah (Spin off)

“Industri asuransi sangat erat kaitannya dengan aktivitas perekonomian. Sektor ini memberikan perlindungan terhadap berbagai aktivitas produktif,” ujar laporan tersebut.

Bila ekonomi melambat akibat kebijakan tarif, lanjut laporan tersebut, masyarakat dan pelaku usaha justru perlu perlindungan lebih besar. Dalam konteks ini, peran asuransi sebagai mekanisme mitigasi risiko harus semakin diperluas, bukan ditekan. Hal ini juga membuka peluang inovasi produk asuransi mikro, proteksi UMKM, dan perluasan jangkauan digital.

IFG Progress juga menekankan pentingnya penguatan strategi jangka menengah dan panjang, termasuk stress test risiko, diversifikasi portofolio, serta peningkatan literasi asuransi publik.

“Perusahaan asuransi perlu memperkuat kapabilitas manajemen risiko secara menyeluruh, termasuk mengembangkan kerangka stress test sebagai alat monitoring risiko secara berkala,” jelas laporan tersebut.

Dengan posisi Indonesia yang belum terlalu dalam terintegrasi ke pasar ekspor AS dan dengan penetrasi asuransi yang rendah, guncangan tarif ini dinilai bisa menjadi panggilan untuk menumbuhkan kembali kepercayaan publik pada asuransi sebagai bagian dari keamanan finansial.

Editor: Angga Bratadharma

| Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Related Posts
Prev Post ASDP Layani 270 Ribu Penumpang di Long Weekend
Next Post Biaya Berobat Terus Naik, Karyawan Asia Tidak Yakin Mampu Bayar Kesehatan

Member Login

or