1
1

Siasat agar Tetap Cuan dari Investasi Pasar Modal

Kebijakan tarif resiprokal Amerika Serikat mengguncang pasar saham global. Portofolio investasi perusahaan asuransi di saham ikut tertekan. Produk Asuransi Yang Dikaitkan Dengan Investasi (PAYDI) berisi aset saham turut tertekan. Perusahaan asuransi disarankan mengalihkannya ke pasar obligasi yang cenderung stabil.

Saat mayoritas pelaku pasar di Indonesia menikmati liburan panjang Idulfitri, pasar finansial global diguncang oleh eskalasi tarif terbaru Trump. Pada 2 April 2025, Trump mengumumkan tarif baru secara luas dalam apa yang disebutnya sebagai ‘Liberation Day’, menandai perubahan besar dalam kebijakan perdagangan Amerika Serikat (AS) melalui kenaikan tarif terhadap berbagai negara pengekspor. Ketegangan meningkat setelah China merespons dengan pengenaan tarif balasan.

Eastspring Investment Management menyebutkan kondisi tersebut semakin menambah tekanan pada pasar finansial global, ditandai dengan penurunan tajam indeks saham di Asia, Eropa, dan AS. Harga komoditas utama seperti minyak dan tembaga juga tertekan, mencerminkan kekhawatiran pelaku pasar tentang melemahnya prospek pertumbuhan ekonomi global.

“Implikasi dari tarif tinggi yang dikenakan pemerintahan Trump terhadap Indonesia dapat dikategorikan ke dalam dua aspek utama, yaitu ekonomi dan pasar finansial,” jelas riset Eastpring Investment Management yang dipublikasikan 8 April 2025.

Hambatan tarif berpotensi menekan perekonomian Indonesia melalui penurunan kinerja ekspor ke AS, serta secara tidak langsung menurunkan ekspor ke negara lain akibat melemahnya permintaan global dan terganggunya rantai pasokan.

“Namun, dampak langsung terhadap PDB Indonesia diperkirakan relatif terbatas, mengingat kontribusi ekspor ke AS terhadap PDB Indonesia hanya sekitar 2,2 persen, lebih rendah dibandingkan negara berkembang lainnya,” lanjut riset tersebut.

Penerapan tarif terhadap produk unggulan Indonesia di pasar AS, seperti elektronik, pakaian, dan alas kaki —sektor padat karya— berpotensi menekan industri manufaktur yang tengah melambat, serta berdampak pada penyerapan tenaga kerja dan stabilitas sektor riil.

Di pasar finansial, dampak langsung tarif terhadap emiten di pasar saham Indonesia relatif kecil, tetapi pelemahan nilai tukar rupiah dan potensi pembalasan dari mitra dagang meningkatkan ketidakpastian di pasar finansial, yang mempengaruhi sentimen investor, baik asing maupun domestik.

“Dalam kondisi tidak normal seperti ini, fundamental cenderung terabaikan, digantikan oleh emosi, persepsi, dan spekulasi dalam pengambilan keputusan,” jelas tim riset Eastspring Invesment Management.

Investment Analyst PT Infovesta Utama Ekky Topan, mengatakan bahwa Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) mulai menunjukkan tekanan sejak Donald Trump terpilih pada 6 November 2024. Tekanan ini terutama disebabkan oleh antisipasi investor terhadap kebijakan proteksionis Trump, termasuk sinyal awal tentang tarif impor yang tinggi.

Menurut catatan, IHSG langsung dibuka melemah 0,35 persen ke posisi 7.358,15 sehari setelah Trump menang. IHSG terus merosot hingga akhir tahun yaitu 30 Desember 2024 saat IHSG berakhir di 7.079. “Tekanan ini bertambah pada beberapa hari awal perdagangan April saat Trump mengumumkan tarif resiprokal. IHSG langsung dibuka dalam tekanan, di mana pasar sempat anjlok hingga -7,90 persen. Hingga minggu kedua April, capital outflow dari pasar saham mencapai Rp5,73 triliun,” paparnya.

Data Bursa Efek Indonesia, 25 April 2025, menguatkan pendapat Ekky karena BEI mencatat dana asing yang keluar dari pasar saham Indonesia telah mencapai Rp50
triliun sejak awal tahun. Kendati ada dana keluar asing, investor domestik melakukan ‘perlawanan’ karena IHSG perlahan pulih di tengah asing yang masih keluar. Sejumlah emiten melakukan aksi beli saham kembali tanpa persetujuan Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS). Belum lagi investor retail yang jumlahnya makin banyak turut menahan laju penurunan IHSG.

“Penurunan mulai tertahan setelah Trump mengumumkan penundaan kebijakan tarif selama 30 hari. Sejak itu, penurunan mulai melambat dan pasar mulai pulih oleh beberapa sentimen positif domestik,” paparnya.

Mengenai dampak penurunan harga saham ke Produk Asuransi yang Dikaitkan dengan Investasi (PAYDI) atau unitlink tentu sangat besar. Terutama PAYDI yang berisi aset saham. “Unitlink denominasi dolar, terutama yang berinvestasi di bursa AS, juga terkena dampak. Pasalnya, penurunan pasar bersifat global dan bursa AS menjadi salah satu yang mengalami koreksi cukup dalam. Sementara itu, pelemahan rupiah terhadap dolar juga bisa dibilang terbatas,” lanjut Ekky.

Data Infovesta Utama menunjukkan sejumlah produk unitlink dari perusahaan asuransi jiwa mengalami tekanan, baik denominasi rupiah maupun dolar AS.

Presiden Direktur PT Asuransi Ciputra Indonesia (Ciputra Life), Hengky Djojosantoso, mengakui sudah ada dampak dari kebijakan tarif Trump ini ke perusahaannya, yaitu perolehan premi yang stagnan. “Jika kita lihat kuartal pertama tahun ini perolehan preminya sama dengan perolehan premi tahun lalu,” urainya kepada Media Asuransi di acara Halal Bihalal DAI, 22 April 2025.

 

Pilihan Arah Investasi

Dalam situasi penuh ketidakpastian dan tekanan penurunan, Eastspring Investment Management menilai obligasi sebagai pilihan investasi yang lebih stabil, di tengah meningkatnya volatilitas pasar. Hal ini tecermin dari menguatnya pasar obligasi global, meskipun pasar saham tertekan.

Imbal hasil US Treasury sempat turun di bawah 4 persen, sementara pasar mulai mengantisipasi hingga empat kali penurunan Fed Funds Rate di tahun ini. Bagi Indonesia, ketidakpastian pasar yang didorong oleh prospek perlambatan perekonomian AS dan dunia dapat berdampak negatif terhadap ekspor, defisit transaksi berjalan, dan pendapatan pajak pemerintah.

Secara umum, tekanan terhadap prospek pertumbuhan mendorong respons kebijakan yang lebih akomodatif. Namun bagi Indonesia, peluang penurunan suku bunga lebih terbuka ketika volatilitas mereda. Hal ini akan mendukung kinerja obligasi, terutama pada tenor pendek hingga menengah. Bank Indonesia telah menyiapkan strategi intervensi untuk menjaga nilai tukar rupiah dan akan melihat respons kebijakan bank sentral lainnya dalam menentukan arah kebijakan suku bunga ke depan.

Dari data TradingEconomics, yield obligasi pemerintah tenor 10 tahun yang menjadi acuan pelaku pasar, menunjukkan kecenderungan stabil. Pada awal tahun 2 Januari 2025 yield berada di 6,990 persen sementara yield 30 April berada di 6,985 persen dengan yield tertinggi terjadi pada 14 Januari yaitu 7,28 persen. Angka yield berkebalikan dengan harga obligasi, yakni semakin tinggi yield menunjukkan harga mengalami penurunan, demikian pula sebaliknya.

Sementara itu, saham sebagai aset berisiko tinggi memerlukan lingkungan pertumbuhan yang lebih pasti sebelum dapat mencatatkan penguatan yang berkelanjutan. Bagi
investor dengan profil risiko jangka panjang, koreksi pasar saat ini dapat menjadi peluang untuk masuk secara bertahap, mengingat sebagian besar risiko domestik telah tecermin pada kinerja pasar saham Indonesia.

“Namun, investor tetap perlu bersabar dan menyadari bahwa aksi jual investor lain akan mempengaruhi arah pasar dalam waktu dekat, dan proses pemulihan pasar kemungkinan akan berlangsung secara bertahap dan membutuhkan lebih banyak waktu,” demikian saran dari tim riset Eastspring.

Menurut Ekky, untuk meminimalkan risiko bisa dilakukan diversifikasi. Bagi unitlink yang dominan pada saham, dapat meningkatkan alokasi pada aset yang lebih stabil seperti reksa dana pasar uang dan obligasi pemerintah jangka pendek untuk mengurangi volatilitas. Namun, bagi pemilik profil risiko yang lebih agresif, penurunan seperti saat ini justru dapat menjadi momentum untuk membeli saham berfundamental baik dengan harga yang relatif murah.

 

Peluang di Balik Trump Effect

Hengky Djojosantoso mengakui efek tarif Trump ke portofolio investasi saham. Namun demikian, jelasnya, sesuai peraturan OJK, industri asuransi dibatasi investasinya di saham, porsinya kecil dibandingkan obligasi dan pasar uang. Ciputra Life hanya menempatkan 10 persen dana di saham. Saat ini penempatan investasi Ciputra Life paling besar di obligasi pemerintah.

“Saham kita sekitar 10 persen. Sejak tahun lalu lebih hati-hati di pasar saham. Bukan berarti prospeknya jelek. Kita lihat apakah ada opportunity di saham, pasti ada. Misalnya sahamsaham berfundamental bagus yaitu bank-bank Himbara saat ini harganya terdiskon dalam. Di sisi lain dividen yang mereka berikan sangat besar. Mungkin kita akan evaluasi kapan timing tepat. Saya rasa ini malah jadi peluang,” tuturnya.

Pihaknya tetap optimistis ke depan ekonomi akan lebih baik. Apalagi jika melihat usaha dari pemerintah melakukan negosiasi lewat delegasi pemeriuntah. “Tidak mungkin mereka mempertahankan tarif tinggi ini karena rakyat mereka sendiri akan rugi,” papar Hengky.

Untuk unitlink saham menurut Ekky, kemungkinan besar kinerjanya masih akan negatif, mengingat kinerja IHSG masih mencatatkan penurunan sekitar -7,6 persen secara year to date (ytd). Indeks acuan seperti LQ45 bahkan turun lebih dalam, sekitar -11,65 persen ytd. “Portofolio unitlink saham yang umumnya berisi emiten blue chip kemungkinan besar juga ikut tertekan. Sementara itu, untuk unitlink berbasis obligasi dan pasar uang, seharusnya kinerjanya lebih stabil atau positif,” imbuhnya.

Ketua Umum Komunitas Penulis Asuransi Indonesia (Kupasi), Wahyudin Rahman, berpendapat perusahaan asuransi jiwa pada dasarnya tidak perlu mengurangi porsi investasi di pasar modal melainkan dapat mencari alternatif strategi di luar itu.

Selain mengurangi porsi saham, tambahnya, perusahaan asuransi jiwa dapat meningkatkan eksposur ke instrumen pendapatan tetap seperti Surat Berharga Negara (SBN)
atau sukuk. “Selain itu, perusahaan dapat melirik instrumen pasar uang dengan likuiditas tinggi,” ungkapnya, kepada Muh Fajrul Falah dari Media Asuransi.

| Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Related Posts
Prev Post Bank DBS Indonesia Siap Dukung Pertumbuhan Inklusif dan Berkelanjutan RI
Next Post Medco Energi (MEDC) Teken Perjanjian Swap Gas Domestik Multi Pihak

Member Login

or