Media Asuransi, JAKARTA – Mayoritas karyawan pernah mengalami perlakuan tidak menyenangkan saat bekerja namun umumnya tidak menyadarinya. Dalam riset yang dilakukan Populix, 73 persen responden yang terdiri dari para pekerja formal mengaku pernah mengalami perlakuan tidak menyenangkan di dunia kerja dengan bentuk perlakuan yang beragam.
Dalam survei terhadap 1.412 pekerja, perlakuan tidak menyenangkan yang mereka alami mulai dari berbentuk verbal (76 persen), diskriminasi (63 persen), pemaksaan kerja (61 persen), pelecehan seksual (41 persen), maupun kekerasan fisik (25 persen).
Mengutip Populix, Sabtu, 29 Juni 2024, jumlah ini muncul akibat mereka baru melihat daftar pengalaman tidak menyenangkan dan baru mengetahui yang mereka alami adalah tergolong perlakuan tidak menyenangkan.
Menurut Senior Executive Social Research Populix Wayan Aristana, perlakuan tidak menyenangkan berbentuk verbal paling sering dialami pekerja adalah kata-kata menghina atau meremehkan (76 persen), lalu makian, teriakan dan bentakan (47 persen), candaan tidak senonoh (40 persen), dan fitnah/gosip (40 persen).
|Baca juga: MSIG Life Lakukan Percepatan Pertumbuhan Bisnis di 2024
“(Kemudian) penghinaan fisik/body shaming (38 persen), ancaman dan tekanan (27 persen), serta bullying atau perundungan sebanyak 19 persen,” ucapnya.
Pelecehan dalam bentuk catcalling
Dalam survei ini, pekerja yang mengaku pernah mendapatkan pelecehan seksual mencapai 40 persen, dengan 76 persen di antaranya berbentuk catcalling (godaan, candaan, dan siulan berbau seksual). Bentuk pelecehan lain adalah memerhatikan bagian tubuh tertentu secara terus menerus (42 persen).
“Lalu mendapatkan gesture seksual (kedipan dan gestur mencium) dan disentuh, dicium, dipeluk tanpa persetujuan yang dialami oleh 22 persen korban pelecehan seksual di tempat kerja,” ucapnya.
|Baca juga: OJK Gelar Edukasi Keuangan untuk Perempuan
Tingginya angka pekerja yang mengaku mendapat perlakuan tidak menyenangkan di dunia kerja sayangnya diperburuk dengan penanganan kasus yang cenderung tak maksimal. Berdasarkan pengakuan responden yang pernah menjadi korban, sebanyak 35 persen penanganan kasus perlakuan tidak menyenangkan di tempat kerja tidak terselesaikan.
“Ditambah lagi, sebanyak 21 persen penanganan kasusnya malah tidak berpihak pada korban. Meskipun, secara umum banyak responden yang mengetahui bahwa tempat bekerjanya memiliki mekanisme penanganan untuk perlakuan tidak menyenangkan,” jelas Aristana.
Penanganan tak maksimal
Dalam riset, peneliti juga menggali mengenai upaya pencegahan dan penanganan kasus semacam ini. Terdapat 35 persen responden mengatakan perusahaannya memiliki peraturan khusus untuk menangani kasus semacam itu. Bahkan, ada yang menyediakan aturan sanksi yang cukup tegas bagi pelaku (28 persen) dan juga mekanisme pelaporannya (25 persen).
Namun di sisi lain, sebanyak 22 persen responden menyatakan perusahaan mereka tidak memiliki mekanisme apapun. Aristana mengatakan penanganan tidak maksimal pada kasus perlakuan tidak menyenangkan terhadap pekerja menyebabkan kasus yang sama terus berulang.
Saat ditanyakan mengenai hasil negatif atau tidak berpihak pada korban yang mereka dapatkan berujung pada pelaku kembali melakukan perbuatannya (91 persen) dan korban/saksi dapat ancaman (67 persen), serta dampak negatif lainnya. “Hingga bahkan ada pekerja yang mengaku korban justru berujung diberhentikan dari pekerjaannya,” pungkas Aristana.
Editor: Angga Bratadharma
| Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News