Media Asuransi, JAKARTA – Amerika Serikat (AS) memperpanjang tenggat negosiasi tarif dari 9 Juli ke 1 Agustus, dan menerapkan tarif baru untuk 14 negara termasuk Indonesia. Kondisi ketidakpastian yang memanjang ini diperkirakan tidak terlalu berpengaruh terhadap kondisi pasar domestik.
Investment Specialist PT Manulife Aset Manajemen Indonesia (MAMI), Dimas Ardhinugraha, menyampaikan bahwa sejauh ini reaksi pasar terhadap pengumuman tarif baru AS relatif netral, tercermin dari level indeks saham, imbal hasil obligasi, dan nilai tukar rupiah yang stabil pasca pengumuman. Masih ada harapan hingga tenggat 1 Agustus untuk pemerintah negosiasi lebih lanjut dengan AS.
|Baca juga: Bahaya Besar Mengintai Pasar Keuangan RI Jika Konflik Timur Tengah Terus Membara
Menurut dia ekspektasinya adalah setidaknya tarif dapat turun ke level yang kompetitif dengan negara tetangga, seperti Vietnam yang telah mencapai kesepakatan dengan AS untuk tarif 20 persen, supaya produk ekspor Indonesia tetap bisa bersaing. Dengan tarif di 32 persen, posisi Indonesia menjadi kalah unggul dengan Vietnam.
“Walau di sisi lain posisi Indonesia lebih baik dibanding dengan negara eksportir lain seperti Bangladesh (tarif 35 persen) dan Kamboja (tarif 36 persen). Kedua negara tersebut juga salah satu eksportir garmen terbesar dunia,” kata Dimas dalam keterangan resmi, Kamis, 10 Juli 2025.
|Baca juga:Ketidakpastian Geopolitik Picu Arus Modal Keluar dari Indonesia, Apa Solusinya?
Ketua The Fed, Jerome Powell, menyatakan bahwa jika tidak mempertimbangkan dampak dan ketidakpastian terkait tarif perdagangan, sebenarnya Fed Funds Rate (FFR) seharusnya sudah dapat diturunkan. Sampai saat ini The Fed mempertahankan sikap wait and see mempertahankan tingkat FFR, dengan argumen bahwa dampak tarif terhadap inflasi masih sulit untuk diproyeksi.
Para pelaku usaha memperkirakan akan terjadi kenaikan drastis harga-harga dan beban biaya akibat tarif yang terlalu tinggi, sehingga tentunya akan berdampak pada inflasi. Di lain pihak, di kuartal II/2025 kemarin aktivitas konsumsi AS mulai menunjukkan sinyal pelemahan.
Dimas mengatakan bahwa keyakinan masyarakat terhadap kondisi usaha, ketenagakerjaan, dan ekspektasi pendapatan di masa depan mulai menurun dan urgensi masyarakat untuk menabung semakin meningkat. “Contohnya saja di bulan April personal income naik 0,8 persen, sementara personal spending hanya naik 0,2 persen. Jika kondisi ini terus berlangsung, dampaknya bisa saja mengarah pada stagflasi,” tuturnya.
Dia perkirakan kebijakan AS yang sering inkonklusif, sering berubah-ubah dan diputuskan secara mendadak, membuat The Fed kesulitan dan berhati-hati mengambil keputusan, setidaknya sampai urusan tarif sudah final. “Nah, kapan finalnya, itu yang masih terus kita cermati,” tuturnya.
Editor: S. Edi Santosa
| Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News