Media Asuransi, JAKARTA – Adanya temuan pemerintah melalui Kementerian Pertanian terkait berbagai merek beras premium yang tidak sesuai mutu dan label atau acapkali disebut beras oplosan menjadi fokus perbaikan dalam tata niaga perberasan nasional saat ini.
Badan Pangan Nasional atau National Food Agency (NFA) mendorong produsen beras premium agar dapat berbenah dan mengimbau masyarakat dapat lebih jeli dalam memilih beras sesuai preferensinya.
|Baca juga: Industri Reasuransi Dinilai Perlu Perbaiki Tata Kelola Underwriting hingga Efisiensi Biaya
|Baca juga: Kesadaran Naik tapi Industrinya Masih Tertinggal, OJK Bongkar PR Besar Asuransi RI!
“Jadi cara masyarakat melihat beras sebelum membeli, bisa secara visual, kalau banyak butir patahnya, itu hampir pasti adalah jenis beras medium karena maksimal 25 persen butir patahnya. Tapi kalau butir utuhnya banyak, itu jenis beras premium,” terang Kepala NFA Arief Prasetyo Adi, dikutip dari keterangan tertulisnya, Selasa, 22 Juli 2025.
“Tapi tak usah khawatir, masyarakat silakan belanja beras. Apalagi kalau berasnya ada mereknya. Kalau ada merek itu artinya silakan dikoreksi kalau ada ketidaksesuaian,” tambahnya, di Kementerian Koordinator Bidang Pangan, Jakarta.
Terkait adanya oplosan beras premium, Arief menjelaskan, praktik tersebut memang ada berupa pencampuran butir patah dengan butir kepala. Namun pencampuran tersebut harus sesuai standar mutu yang telah ditetapkan pemerintah.
“Kalau beras itu pasti dicampur. Kenapa dicampur? Karena ada butir utuh dan butir patah. Nah kalau beras premium itu butir utuhnya dicampur dengan butir patah sampai 15 persen. Bukan dioplos dengan beras busuk terus diaduk. Ini karena kualitas adalah kualitas. Ini yang harus dijaga,” ucap Arief.
|Baca juga: Pendapatan Premi AIA Rp4,67 Triliun per Juni 2025
|Baca juga: IHSG Ngacir Terkerek Kinerja Emiten, IPOT Rekomendasikan Saham-saham Breakout Resistance
Terkait itu, kelas mutu beras premium telah diatur dalam Peraturan Badan Pangan Nasional Nomor 2 Tahun 2023.
Untuk beras premium harus memiliki kualitas antara lain memiliki butir patah maksimal 15 persen, kadar air maksimal 14 persen, derajat sosoh minimal 95 persen, butir menir maksimal 0,5 persen, total butir beras lainnya (butir rusak, butir kapur, butir merah/hitam) maksimal satu persen, butir gabah, dan benda lain harus nihil.
Tidak jauh berbeda, dalam Standar Nasional Indonesia (SNI) 6128:2020 beras premium non organik dan organik harus mempunyai komponen mutu antara lain butir patah maksimal 14,50 persen; butir kepala minimal 85,00 persen; dan butir menir maksimal 0,50 persen.
Kemudian butir merah/putih/hitam maksimal 0,50 persen; butir rusak maksimal 0,50 persen; butir kapur maksimal 0,50 persen; benda asing maksimal 0,01 persen, dan butir gabah maksimal 1,00 per 100 gram.
“Kalau istilah oplosan itu cenderung berkonotasi negatif. Seperti misalnya minyak seharga Rp15 ribu tapi dicampur dengan minyak seharga Rp8.000, lalu dijual dengan harga Rp15 ribu. Nah itu maksudnya oplos,” ungkap dia.
“Di beras, kita punya batas maksimal beras patah 15 persen. Apabila butir utuh tadi dicampur dengan 15 persen butir patah, itu beras premium dan memang begitu standar mutunya. Jadi pencampuran beras tapi tidak melampaui standar mutu itu biasa dan lumrah,” tambah Arief.
Kepala NFA Arief Prasetyo Adi mempertegas praktik oplos yang tidak diperbolehkan dan mengandung delik pidana adalah jika menggunakan beras Stabilisasi Pasokan dan Harga Pangan (SPHP). Hal ini karena beras SPHP terdapat subsidi dari negara sebagai salah satu program intervensi perberasan ke pasaran.
|Baca juga: OJK Bawa Kabar Buruk, Gejolak Israel-Iran Disebut Berpotensi Hantam Produk Unitlink!
|Baca juga: OJK Wanti-wanti Industri Asuransi soal Aktuaris, Ini Langkah Cegah Tenaga Ahli Kabur
“Kemudian, untuk beras subsidi pemerintah, itu yang tidak boleh dicampur atau dioplos. Beras SPHP dengan kemasan lima kilogram harus menyasar langsung ke masyarakat dengan harga Rp12.500 per kilogram (zona 1). Itu tidak boleh dicampur, tidak boleh dibuka kemasannya untuk dicampur ke beras lain,” kata Arief.
“Beras SPHP itu beras medium. Tapi memang beberapa waktu lalu kualitas sangat baik, karena broken-nya hanya lima persen. Ini yang dimaksud Bapak Menteri Pertanian bahwa beras SPHP itu tidak boleh dioplos dengan beras lain,” tukasnya.
“Untuk itu, saya sudah meminta Bapak Dirut Bulog untuk memastikan agar tidak terjadi praktik seperti itu. Outletnya sekarang harus jelas, teregistrasi secara digital,” ucap Arief.
Terpisah, Direktur Utama Perum Bulog Ahmad Rizal Ramdhani menuturkan strategi pengawasan terhadap penyaluran beras SPHP saat ini dapat dipantau secara digital. Sebagai tindak lanjut penugasan dari NFA, pihaknya telah mengoperasikan aplikasi Klik SPHP, mewajibkan pengecer yang ingin mendapatkan pasokan beras SPHP harus terdaftar dan tersertifikasi terlebih dahulu.
“Setelah badan usaha jelas dan izinnya lengkap, baru diperbolehkan memesan beras SPHP. Apabila tidak mematuhi ketentuan, sanksinya cukup berat dan hukumannya bisa sampai lima tahun penjara. Beras SPHP juga tidak boleh dijual di pasar modern,” pungkas Rizal.
Editor: Angga Bratadharma
| Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News