Media Asuransi, JAKARTA – Pernahkah Anda merasa lega setelah berbelanja online di tengah malam, hanya untuk kemudian menyesal keesokan harinya? Atau mungkin pernah kalap berbelanja setelah mendapat gaji, sebagai “hadiah” untuk diri sendiri yang sudah bekerja keras? Jika ya, Anda tidak sendirian.
Tapi tahukah anda, jika kedua gejala ini dipicu oleh rasa cemas akan keadaan? Di tengah ketidakpastian ekonomi global, jutaan orang Indonesia mungkin akan dihadapkan pada potensi dua fenomena berbahaya yaitu doom spending dan revenge spending. Kedua fenomena ini lebih dikenal sebagai dua bentuk “terapi belanja” yang justru menggerogoti masa depan finansial.
|Baca juga: Jangan Sampai Tertipu, Begini Cara Cerdas Berinvestasi di Era Digital!
Bank Dunia dalam laporan Global Economic Prospects terbaru (Juni 2025) memproyeksikan pertumbuhan ekonomi global akan merosot ke 2,4%. Di Indonesia, berbagai berita menyeramkan terus memenuhi ruang publik, seperti badai PHK, melemahnya daya beli, ancaman perang di Timur Tengah dan pelbagai sentimen negatif lainnya.
Bagi masyarakat kelas menengah, terutama generasi milenial dan generasi Z, kondisi ini ibarat badai sempurna. Berbagai tekanan datang bertubi-tubi baik dari sisi domestik maupun global. Dan disinilah perangkap emosional dimulai.
“Ketika muncul kecemasan atas kondisi yang sedang tidak baik-baik saja, banyak orang mencari pelarian. Sayangnya, berbelanja sering menjadi pilihan pertama, padahal ini justru seperti menuang bensin ke api,” ungkap Danica Adhitama, Direktur Marketing PT Bahana TCW Investment Management (Bahana TCW), dalam keterangan resmi dikutip, Sabtu, 12 Juli 2025.
Doom Spending: Pelarian Emosional yang Menguras Finansial
Jamak terjadi ketika baru saja membaca berita tentang gelombang PHK di berbagai perusahaan. Cemas melanda dan tanpa sadar, jari-jari kita sudah membuka aplikasi e-commerce, mencari “sesuatu” untuk dibeli. Skincare yang tidak dibutuhkan, gadget yang hanya mengikuti tren, atau pakaian yang hanya akan tergantung di lemari.
|Baca juga: 5 Tips Aman Belanja Online
Inilah doom spending, atau belanja impulsif yang dipicu kecemasan, rasa tidak aman atau ketidakpastian terhadap masa depan. Ironisnya, semakin khawatir tentang keuangan, semakin banyak uang yang dihabiskan. Profesor Sarah Wilson, psikolog dari University of Melbourne, menjelaskan fenomena ini sebagai “ilusi kontrol.”
Ketika segala sesuatu terasa di luar kendali, berbelanja memberikan sensasi semu bahwa kita masih punya kuasa atas hidup kita. Masalahnya, kebahagiaan dari doom spending hanya bertahan beberapa menit. Yang tersisa adalah saldo rekening yang menipis, tagihan menumpuk dan rasa bersalah yang berkepanjangan.
Revenge Spending: Pembalasan Manis yang Berujung Pahit
Di sisi lain, ada revenge spending atau bentuk “balas dendam” atas masa-masa sulit yang pernah dilalui di waktu lampau. Seperti terjadi di kondisi banyak masyarakat bertahun-tahun menahan diri selama pandemi, kini “membalas” dengan melakukan traveling dan berbelanja secara berlebihan.
Tren ini semakin mengkhawatirkan karena didorong oleh kemudahan akses kredit dan paylater. “Buy now, pay later” bukan lagi slogan marketing tapi menjadi tantangan tersendiri, terutama jika tidak disertai kesadaran dan perencanaan finansial. Jika doom dan revenge spending adalah api, maka media sosial adalah bensinnya – jika tidak digunakan secara bijak.
|Baca juga:Inilah Tips Gunakan Paylater Supaya Tetap Sehat Mental
Setiap hari, feed Instagram dan TikTok dibanjiri konten unboxing, travelling dan gaya hidup mewah lain yang memicu FOMO (Fear of Missing Out). “Literasi keuangan hari ini tidak bisa lepas dari literasi digital. Kemajuan pesat ekosistem digital membawa peluang sekaligus tantangan. Kita harus paham bahwa yang kita lihat di media sosial adalah highlight reel, bukan realita,” tegas Danica.
Semakin sering kita mengandalkan belanja untuk merasa baik, semakin sulit untuk berhenti. Yang dimulai sebagai “hadiah kecil” untuk diri sendiri, bisa berevolusi menjadi kebiasaan destruktif yang menguras tabungan dan merusak rencana masa depan.
|Baca juga:Penipuan Online Kian Mengkhawatirkan, Berikut 6 Cara Mencegahnya!
Lalu bagaimana kita harus menghadapi fenomena ini. Kabar baiknya, doom dan revenge spending bisa diatasi dengan strategi yang tepat: Pertama, Kenali Trigger Points. Catat kapan dan mengapa berbelanja impulsif. Apakah saat stres kerja? Kesepian? Atau setelah melihat konten tertentu di media sosial?
Kedua, Terapkan Aturan 48 Jam. Sebelum membeli sesuatu di atas Rp 500.000, tunggu 48 jam. Jika setelah itu masih merasa perlu, barulah beli. Ketiga, Buat Budget “Guilt-Free”. Alokasikan 5%-10% pendapatan untuk belanja “suka-suka.” Dengan begitu, Anda tetap bisa berbelanja tanpa merasa bersalah.
Keempat, Digital Detox Berkala. Batasi waktu di media sosial dan unfollow akun yang memicu keinginan berbelanja berlebihan. Kelima, Cari Aktivitas Pengganti. Alihkan energi emosional ke kegiatan produktif: olahraga, memasak, atau mempelajari skill baru.
“Langkah paling revolusioner adalah mengubah pola pikir dari konsumen menjadi investor. Alih-alih menghabiskan uang untuk kepuasan sesaat, mulailah mengarahkannya untuk membangun masa depan. Setiap kali tergoda berbelanja impulsif, tanyakan pada diri sendiri. Apakah ini akan menguntungkan bagi saya di lima tahun ke depan?” saran Danica.
Editor: Achmad Aris
| Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News