1
1

PPN, Daya Beli, dan Asuransi

Gedung Direktorat Jenderal Pajak di Jakarta. | Foto: Media Asuransi/Arief Wahyudi

Masyarakat Indonesia bersiap merogoh kocek lebih dalam pada 2025. Pasalnya, pemerintah akan menaikkan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 11 persen menjadi 12 persen. PPN ini merupakan pungutan pajak yang ditanggung oleh konsumen alias pembeli. Artinya, harga yang dibayarkan untuk pembelian barang dan jasa akan terkerek naik.

Pemerintah berdalih kenaikan tarif PPN dilakukan untuk menggenjot pendapatan negara yang akan digunakan untuk mendanai berbagai program pemerintah. Di sisi lain, kenaikan PPN juga ditujukan untuk mengurangi ketergantungan pemerintah atas utang luar negeri.

Meski berdampak positif bagi keuangan negara, penaikan tarif PPN ini diperkirakan akan kian memukul daya beli masyarakat, terutama masyarakat kelas menengah, yang saat ini sudah melemah. Wajar bila kemudian kebijakan ini menuai protes dari berbagai elemen masyarakat mulai dari pengusaha, buruh, hingga akademisi.

Data Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat tingkat inflasi 2024 mengalami tren penurunan sejak Maret 2024 dari level 3,05 persen menjadi 1,71 persen pada Oktober 2024. Bahkan, bila ditengok secara month to month, Indeks Harga Konsumen (IHK) mencatatkan deflasi berturut-turut dalam lima bulan yaitu Mei-September 2024.

Tren melemahnya daya beli masyarakat ini juga terkonfirmasi dari data penurunan belanja masyarakat atau konsumsi rumah tangga dalam komponen Produk Domestik Bruto (PDB) nasional sepanjang 2024. Realisasi belanja rumah tangga tercatat mulai turun sejak kuartal II/2024 hingga kuartal III/2024 dari 2,61 persen menjadi 2,55 persen.

Data Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) BPS terbaru mengungkapkan bahwa jumlah penduduk kelas menengah mengalami penurunan. Padahal, kelompok sosial ekonomi ini berperan penting sebagai kontributor utama konsumsi rumah tangga nasional. Pada 2024, jumlah kelas menengah turun menjadi 47,85 juta orang, dibandingkan dengan 2023 sebanyak 48,27 juta orang. Di sisi lain, jumlah kelas menengah atas juga turun menjadi 1,07 juta orang, dibandingkan dengan posisi 2023 sebanyak 1,26 juta orang.

Memang jumlah kelas aspiring middle class alias calon kelas menengah tercatat meningkat menjadi 137,50 juta orang pada 2024, dibandingkan dengan tahun 2023 sebanyak 136,92 juta orang. Namun demikian, kelompok vulnerable alias rentan miskin juga turut naik menjadi 67,69 juta orang pada 2024, dibandingkan dengan 2023 sebanyak 64,43 juta orang.

Berdasarkan nilai pengeluarannya, penduduk kelas menengah ini cenderung mendekati ambang batas bawah klasifikasi pengeluaran. Hal ini mengindikasikan bahwa kelas menengah cenderung lebih sulit untuk naik ke kelas atas dan rentan masuk ke dalam kelompok aspiring middle class atau bahkan berisiko menjadi miskin.

Turunnya jumlah kelas menengah ini inline dengan meningkatnya gelombang Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) dalam beberapa tahun terakhir. Data Kementerian Tenaga Kerja mencatat jumlah pekerja yang terkena PHK pada 2023 meningkat signifikan menjadi 64.855 orang, dibandingkan dengan tahun 2022 yang hanya 25.114 orang. Tren ini berlanjut pada 2024, yakni pada periode Januari-Agustus 2024 tercatat 46.240 orang, dibandingkan dengan 37.375 orang pada periode Januari-Agustus 2023.

Dalam situasi seperti ini, muncul fenomena ‘Mantab’ alias makan tabungan. Fenomena ini menggambarkan ketika seseorang menggunakan tabungannya untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Hal ini terjadi karena peningkatan belanja terjadi lebih cepat ketimbang peningkatan pendapatan. Ratarata saldo tabungan untuk kelompok rekening kurang dari atau sama dengan Rp100 juta pada periode Januari 2019 hingga September 2024 mengalami penurunan sebesar 40 persen.

Rencana kenaikan tarif PPN di tengah tren penurunan daya beli masyarakat ini tentu akan berdampak negatif terhadap industri asuransi nasional. Produk asuransi akan menjadi produk yang ‘mahal’ dan ‘tidak prioritas’ untuk dibeli. Kalau sudah begini, upaya pemerintah untuk menaikkan angka inklusi asuransi sudah pasti tidak akan terealisasi.

Berpijak pada dampak negatif yang ditimbulkan tersebut, pemerintah sebaiknya menunda kenaikan tarif PPN ini sampai dengan daya beli masyarakat benar-benar pulih. Percuma pendapatan negara naik tapi perekonomian nasional mandek gara-gara konsumsi rumah tangga dan aktivitas ekonomi turun. Di sisi lain, masyarakat juga semakin rentan karena risiko kerugian keuangannya tidak ada yang mengcover. Ujungnya, negara juga yang akan repot.

| Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Related Posts
Prev Post Peluang & Tantangan di Tahun Ular Kayu
Next Post Proyeksi Multifinance 2025: Industri Pembiayaan Diprediksi Tumbuh 10 Persen

Member Login

or