Kuartal kedua 2019, periode April-Juni, kondisi pasar saham di Indonesia masih penuh dengan ketidakpastian. Hal itu muncul sebagai dampak kondisi perekonomian global yang masih tak menentu akibat perang dagang (trade war) Amerika Serikat (AS) dan China, maupun kondisi dalam negeri seiring pelaksanaan Pemilu dan Pilpres serentak di tanggal 17 April 2019. Salah satu indikasinya adalah kecenderungan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) di Bursa Saham Indonesia (BEI) yang berfluktuatif dan cenderung melemah di kuartal kedua 2019.
Data yang dianalisis Lembaga Riset Media Asuransi (LRMA) menunjukkan bahwa pada penutupan perdagangan di hari pertama kuartal kedua 2019, yakni tanggal 1 April 2019, IHSG ditutup melemah 16,14 poin (0,25 persen) dibanding pada perdagangan terakhir bulan Maret 2019, yakni berada di level 6.452,61. Tiga bulan kemudian, saat penutupan perdagangan tanggal 28 Juni 2019 IHSG di tutup di level 6.358. Itu artinya terjadi pelemahan selama satu kuartal tersebut. Pada hari itu, perdagangan saham ditransaksikan 428.101 kali dengan nilai Rp19,2 triliun.
Memasuki kuartal ketiga, ternyata indeks masih juga berfluktuasi. Pada penutupan perdagangan tanggal 8 Juli, indeks berada di level 6.351. Namun pada penutupan perdagangan di tanggal 19 Juli, indeks justru telah menguat ke level 6.456. Walau di akhir bulan, tepatnya pada tanggal 26 Juli 2019 pada saat penutupan perdagangan, indeks ditutup di level 6.325 atau melemah dibandingkan dengan posisi pada pertengahan bulan.
Walau kecenderungan indeks masih berfluktuasi, ternyata aliran modal asing yang masuk ke Indonesia cukup besar di enam bulan pertama 2019. Memang tidak semuanya untuk memborong saham, karena sebagian investor membelanjakan uangnya untuk membeli obligasi.
Data Bank Indonesia (BI) yang dikeluarkan pada tanggal 4 Juli 2019 menyebutkan bahwa jumlah dana asing yang masuk ke Indonesia sejak awal tahun, sebesar Rp170,1 triliun. Angka ini terus meningkat dari bulan ke bulan.
Menurut Gubernur BI Perry Warjiyo menjelaskan aliran modal asing tersebut paling banyak masuk ke surat berharga negara (SBN) sebanyak Rp98,5 triliun dan saham Rp71,5 triliun. “Ada aliran modal asing besar yang masuk hingga 4 Juli 2019, ini karena pada lelang SBN terakhir terjadi oversubscribed atau kelebihan permintaan,” katanya di Jakarta, awal Juli 2019.
Perry mengungkapkan masuknya modal asing ini menunjukkan kondisi pasar dan investor mulai confidence kepada prospek ekonomi. Lalu kebijakan yang ditempuh BI, OJK, dan pemerintah turut mendorong perbaikan perekonomian.
Menurut dia, investor asing saat ini memang memperhatikan earning dan pertumbuhan ekonomi nasional. “Sentimen yang besar memang masih dari sisi saham, kalau dari fixed income mereka melihat diferensial return-nya masih menarik karena rate-nya positif,” jelasnya.
Sementara itu dalam kesempatan terpisah, Investment Specialist PT Manulife Aset Manajemen Indonesia (MAMI) Dimas Ardhinugraha mengingatkan ada empat hal yang perlu diperhatikan dalam mencermati kondisi pasar saham dan obligasi Indonesia saat ini. Pertama, adalah indikasi pertumbuhan ekonomi global yang melambat. Kedua, saat ini Bank Sentral secara global beranjak lebih akomodatif. Ketiga, kondisi makro ekonomi Indonesia tetap kondusif atau tidak. Keempat, potensi pemangkasan suku bunga Bank Indonesia. “Dengan faktor-faktor tersebut, kita bisa simpulkan pasar saham dan obligasi Indonesia masih menawarkan potensi investasi yang sangat menarik, walaupun kondisi global saat ini masih dipenuhi oleh berbagai dinamika yang ada,” katanya dalam keterangan tertulis kepada Media Asuransi.
Lebih lanjut Dimas menjelaskan bahwa secara umum kondisi Indonesia cukup kondusif bagi investor memburu saham dan obligasi di Indonesia. Ada tiga hal yang menjadi alasan, pertama kita melihat bahwa kondisi ekonomi Indonesia yang relatif lebih terlindungi dari perlambatan ekonomi global. Faktor kedua, kita melihat adanya potensi penurunan suku bunga Bank Indonesia yang dapat menopang pertumbuhan ekonomi lebih lanjut. Ketiga, kenaikan rating kredit Indonesia oleh S&P’s beberapa waktu lalu mengafirmasi pengelolaan fiskal dan moneter Indonesia yang baik. “Oleh karena itu, kita masih positif melihat outlook potensi pasar saham dan obligasi di Indonesia,” tandasnya. S. Edi Santosa
| Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News