1
1

Perkembangan Ekonomi Global Tak Sesuai Ekspektasi

Portfolio Manager Fixed Income MAMI, Laras Febriany. | Foto: MAMI

Media Asuransi, JAKARTA – Memasuki paruh kedua tahun ini kita melihat ada beberapa pandangan awal mengenai kondisi makro global 2024 ternyata tidak sesuai ekspektasi, terutama yang berkaitan dengan inflasi arah suku bunga Fed Funds Rate (FFR).

Portfolio Manager Fixed Income PT Manulife Aset Manajemen Indonesia (MAMI), Laras Febriany, mengatakan bahwa Di awal tahun, kita berekspektasi bahwa ekonomi global akan tumbuh moderat dibarengi inflasi yang semakin jinak. Dari Amerika Serikat (AS), data-data ekonomi menunjukkan sinyal bahwa inflasi berangsur turun dan sektor ketenagakerjaan juga mulai menunjukkan pelemahan.

Hal ini membuat The Fed lebih dovish dan memproyeksikan tiga kali penurunan FFR. Namun setelah setengah tahun berlalu, yang terjadi adalah sebaliknya. Ekonomi global tumbuh lebih kuat dari proyeksi dan mengalami revisi kenaikan, mencerminkan ekspansi ekonomi yang kuat.

|Baca juga: Pasar Obligasi Masih Menjanjikan

“Selain itu inflasi AS yang diharapkan turun malah berangsur naik, sempat mencapai 3,5 persen year on year (yoy) di bulan Maret, membuat Fed Chairman Jerome Powell yang awalnya optimistis pemangkasan FFR dapat dimulai di kuartal kedua tahun ini, kembali terlihat ragu-ragu,” kata Laras dalam keterangan resmi yang dikutip Jumat, 12 Juli 2024.

Dia tambahkan, hal lain yang juga lebih baik dari ekspektasi adalah sektor perdagangan. Ketegangan geopolitik yang diperkirakan berpotensi menghambat rantai pasok untungnya tidak terjadi, dan perdagangan global masih dapat melanjutkan pemulihannya dengan baik.

Menurut Laras, pertumbuhan ekonomi global 2024 direvisi naik ke 2,6 persen, mencerminkan tiga tahun pertumbuhan yang cukup stabil sejak puncak pandemi berakhir di 2021. Revisi kenaikan di tengah tensi geopolitik yang meningkat ini lebih ditopang oleh ekspansi perdagangan dan investasi. Walaupun suku bunga global masih cenderung ketat, sebenarnya inflasi global sudah menunjukkan tren penurunan.

Beberapa bank sentral lain sudah mulai atau setidaknya sudah berencana melakukan pemangkasan. Bank sentral Eropa sudah memangkas suku bunga 25 bps (basis points) di bulan Juni, bank sentral Swiss sudah memangkas dua kali pada tahun ini, dan bank sentral Inggris diperkirakan dapat mulai memangkas suku bunga di kuartal ketiga.

“Namun memang wajar jika investor sering kali lebih terfokus pada inflasi dan suku bunga FFR yang menjadi poros perekonomian global dan tidak melihat kondisi global melalui sudut pandang helicopter view,” kata Laras Febriany.

 

Inflasi dan Suku Bunga AS

Penundaan pemangkasan FFR disebabkan oleh data-data ekonomi yang masih ‘mixed signal’. Walaupun sudah terlihat pelemahan pada sektor konsumsi dan keyakinan konsumen, inflasi dianggap belum turun secara konsisten menuju target The Fed sebesar dua persen.

Kondisi ini membuat pandangan pejabat The Fed terpecah, terlihat dari dot plot terakhir, yakni pandangan satu kali atau dau kali pemangkasan di tahun 2024 ternyata cukup imbang. Pada akhirnya ekspektasi pemangkasan FFR tahun 2024 lebih konservatif, yakni lebih sedikit di 2024, lebih banyak di 2025.

|Baca juga: Inflasi AS Anjlok, Influencer Yakin Fed Bakal Pangkas Suku Bunga 

Namun seperti yang juga disampaikan oleh pejabat The Fed, kemungkinan kenaikan FFR ke depannya sangat minim. “Yang harus kita tunggu adalah seberapa lama FFR akan bertahan sebelum akhirnya pejabat The Fed benar-benar yakin tren penurunan inflasi memang sudah konsisten,” kata Laras.

Sementara itu Asia dinilai menjadi salah satu pilar pertumbuhan global 2024. Mengacu pada publikasi World Bank, tahun ini China diproyeksikan tumbuh 4,8 persen, Indonesia tumbuh 5,0 persen, dan India tumbuh 6,6 persen. Penurunan inflasi dan pelonggaran moneter global serta perbaikan perdagangan dunia menjadi katalis positif bagi Asia.

Sejak tahun 2023, aktivitas ekspor di Asia terus bertumbuh pesat. Pertumbuhan ini didominasi oleh performa industri di China dan India. Selain itu sentimen pasar terhadap China menunjukkan perbaikan, tecermin dari outlook pertumbuhan ekonomi China yang terus direvisi naik mencapai lima persen. Investor asing juga menunjukkan minat mereka kembali ke pasar China yang terlihat dari arus modal asing yang semakin meningkat dibandingkan akhir tahun 2023.

“Namun memang tidak bisa dipungkiri, pandangan higher for longer FFR dan penguatan dolar AS memang menjadi ‘ganjalan’ jangka pendek bagi pasar Asia. Kuncinya kembali lagi pada sinyal yang diberikan oleh The Fed,” tutur Laras.

|Baca juga: Greenback Ambruk saat Suku Bunga AS Diprediksi Dipangkas di September

Di dalam negeri, menurut dia, sejalan dengan ekspektasi awal tahun, perekonomian Indonesia setengah tahun ini tumbuh relatif stabil ditopang oleh tingkat konsumsi rumah tangga, inflasi yang terjaga, dan peningkatan belanja pemerintah.

Namun, sama seperti kebanyakan negara kawasan, nilai tukar rupiah anjlok di luar perkiraan menghadapi penyesuaian ekspektasi arah FFR. Ditambah dengan faktor musiman kenaikan permintaan valas oleh korporasi, termasuk untuk repatriasi dividen, serta persepsi terhadap kesinambungan fiskal, akhirnya rupiah anjlok melewati level psikologis Rp16.000 per dolar AS.

Dia jelaskan bahwa merespons hal ini, BI menaikkan suku bunga ke level 6,25 persen sebagai salah satu upaya pre-emptif menopang nilai tukar rupiah. Saat ini BI menyatakan bahwa stabilitas rupiah menjadi prioritas utama, dan percaya nilai fundamental rupiah di bawah Rp16.000, didukung inflasi domestik yang terjaga dan stabilitas ekonomi.

“Dapat kita simpulkan di paruh kedua tahun ini, setidaknya dalam jangka pendek, nilai tukar rupiah akan tetap menjadi fokus pasar,” kata Laras Febriany.

Editor: S. Edi Santosa

 

| Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Related Posts
Prev Post DPLK Syariah Muamalat Jalin Kerja Sama Program Pensiun dengan Anak Usaha Jakpro
Next Post Marsh McLennan Pertahankan Posisi Pertama sebagai Broker Terbesar Versi AM Best

Member Login

or