Media Asuransi, JAKARTA – Kebijakan pemerintah yang mendorong pemenuhan modal minimum bagi seluruh perusahaan asuransi kemungkinan besar hanya dapat dilakukan dengan cara konsolidasi atau Merger & Acquisition (M&A). Adapun peraturan mengenai modal minimum itu diharapkan berdampak positif bagi perusahaan asuransi di masa mendatang.
Pasalnya, Head of IFG Progress Reza Y Siregar mengatakan, dengan waktu yang terbatas hingga 2028 dan didasari oleh kinerja perusahaan asuransi saat ini maka pemenuhan loncatan modal minimum dari sekitar Rp100-150 miliar hingga Rp1 triliun tidak mungkin dapat dilakukan secara organik
Reza, dalam webinar bertajuk ‘POJK 23/2023 dan Dampaknya bagi Lanskap Industri Asuransi di Indonesia‘, yang diselenggarakan oleh Media Asuransi, menjelaskan regulasi terkait modal minimum perusahaan asuransi sebagaimana diatur dalam POJK 23 Tahun 2023 dapat mendorong ekosistem perindustrian asuransi yang sehat.
Ia menambahkan jumlah pelaku industri yang saat ini terbilang banyak tapi berskala kecil telah mendorong persaingan usaha tidak sehat. Indikasinya adalah terjadi persaingan harga premi yang tidak sehat demi mengejar pendapatan dan meningkatkan permodalan.
|Baca: Moro W. Budhi Ditunjuk Jadi Presiden Direktur Asuransi FPG Indonesia
Di sisi lain, tambahnya, peningkatan modal minimum perusahaan asuransi bakal mendukung stabilitas sistem keuangan. Perusahaan asuransi mampu menyerap risiko dari pertumbuhan ekonomi Indonesia yang akan terus naik.
Sebagai contoh, transisi energi hijau membutuhkan modal dan investasi yang besar dan hal itu hanya bisa terjadi kalau Indonesia memiliki perusahaan asuransi dengan modal yang kuat, yang mampu menyerap risiko dari transisi energi.
“Dengan modal yang kuat, perusahaan asuransi juga dapat melakukan ekspansi usaha guna memperbesar penetrasi pasar asuransi di Indonesia karena mampu mengelola risiko, meningkatkan kinerja, dan memenuhi komitmen pemegang polis,” ujar dia, dikutip dari keterangan tertulisnya, Selasa, 30 Januari 2024.
Kendati memiliki tujuan yang mulia, Reza menegaskan, kebijakan tersebut kemungkinan terkendala dengan kemampuan perusahaan asuransi untuk menggenjot modal minimum sesuai dengan ketentuan tersebut.
Berkaca pada perusahaan asuransi jiwa, berdasarkan data statistik OJK di 2022, sebanyak 69 persen perusahaan asuransi jiwa terbilang dapat memenuhi ekuitas minimum sebesar Rp250 miliar pada akhir 2026.
Sementara itu, untuk ketentuan pada tahap II di 2028, tersisa sekitar 50 persen perusahaan di kategori KPPE 1, dan 40 persen yang memenuhi KPPE 2. Sebagian besar perusahaan yang dapat memenuhi ketentuan modal minimum tersebut adalah joint venture.
Kondisi saat ini, tambahnya, menunjukkan selisih total pendapatan perusahaan asuransi jiwa nasional dengan aset dan ekuitas kecil serta moderat masih jauh tertinggal dari perusahaan di kelas yang sama yang memenuhi ketentuan KPPE 1 dengan minimum ekuitas Rp500 miliar.
|Baca: Gagal Nonton Bioskop Tak Perlu Takut Rugi, Kini Bisa Pakai Asuransi Ini!
“Sehingga perlu adanya upaya yang lebih intensif untuk mencapai target minimum ekuitas secara organik. Kondisi ini juga sama terjadi di perusahaan asuransi umum,” kata dia.
POJK 23/2023 merupakan regulasi baru yang diterbitkan oleh OJK sebagai pengganti POJK Nomor 67/POJK. 05/2016. Regulasi ini menekankan penguatan modal perusahaan asuransi dengan menaikkan total modal disetor dan ekuitas minimum.
Perusahaan asuransi harus memenuhi ekuitas minimum dalam dua tahapan, yaitu pada 2026 sebesar Rp500 miliar dan 2028 sebesar Rp500 miliar hingga Rp1 triliun. Berkaca pada kinerja perusahaan asuransi secara keseluruhan, penguatan modal minimum tersebut bakal susah terjadi secara organik khususnya bagi perusahaan asuransi nasional dengan aset yang kecil.
Dalam hal penguatan modal, beberapa negara seperti Filipina, Ghana, Malaysia, dan Australia menggunakan beberapa mekanisme seperti capital injection, merger dan acquisition atau konsolidasi perusahaan. Hal ini juga bisa dilakukan di Indonesia.
Di satu sisi, regulasi baru tersebut memberi solusi melalui skema Kelompok Usaha Perusahaan Asuransi (KUPA) bagi perusahaan asuransi dengan modal kecil untuk tetap eksis, mencegah potensi persaingan tidak sehat, dan meningkatkan diversifikasi risiko melalui penggabungan produk dan bisnis asuransi.
Di sisi lain, regulasi baru ini juga membawa risiko konflik kepentingan antara perusahaan yang berbeda karakteristik, dan potensi masalah di masa depan jika perusahaan asal tidak memiliki kapasitas yang memadai.
“Asuransi dan dana pensiun merupakan kunci untuk pengembangan pasar finansial kita, melalui regulasi POJK 23/2023 ini diharapkan dapat memperkuat fondasi dan perlindungan industri asuransi yang nantinya akan menunjang pencapaian target makro untuk menjadi negara maju di 2045,” tutup dia
Editor: Angga Bratadharma
| Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News