Media Asuransi, JAKARTA – PT Manulife Aset Manajemen Indonesia (MAMI) memperkirakan pasar finansial Indonesia masih akan positif di tahun ini. Kondisi ini didukung oleh perekonomian global yang bergerak bullish, pasar Asia yang lebih suportif. Serta kondisi pasar domestik yang stabil, terlihat dari inflasi yang tetap terkendali dan upaya Bank Indonesia (BI) dalam menjaga stabilitas Rupiah.
Pandangan tim investasi MAMI ini disampaikan dalam diskusi bertajuk “Indonesia Market Outlook: Keeping Up with 2024” secara daring pada Kamis, 18 Januari 2024. Nara sumber dalam acara ini adalah Director & Chief Investment Officer-Fixed Income MAMI, Ezra Nazula, Chief Economist & Investment Strategist MAMI, Katarina Setiawan, dan Senior Portfolio Manager, Equity MAMI, Samuel Kesuma.
Ezra mengatakan bahwa ekonomi global di tahun ini diperkirakan akan tumbuh moderat dan inflasi juga akan lebih melandai dibandingkan pada tahun 2023. Tingkat suku bunga sudah mendekati puncak siklusnya.
|Baca juga: MAMI Perkirakan Penguatan Pasar Saham Indonesia akan Berlanjut di 2024
“Dokumen Dot Plot FOMC di bulan Desember 2023 mengindikasikan bahwa pemangkasan suku bunga dapat lebih besar dibandingkan perkiraan sebelumnya, sehingga mengafirmasi harapan pasar terhadap The Fed untuk dapat lebih agresif dalam menurunkan suku bunga di tahun 2024,” katanya.
Menurut dia, perkembangan outlook suku bunga dan ekonomi Amerika Serikat menjadi katalis bagi pasar global secara menyeluruh. Hampir seluruh sektor berkontribusi secara merata dalam
penguatan pasar, mengindikasikan optimisme terhadap outlook ekonomi secara keseluruhan.
Penurunan imbal hasil US Treasury terjadi di seluruh tenor, merespon ekspektasi pemangkasan suku bunga The Fed di 2024 dan hasil lelang US Treasury yang kuat. Indeks USD yang terus melemah menjadi faktor positif bagi pasar finansial dunia.
Pasar finansial di Asia diperkirakan akan lebih suportif. Pertumbuhan di 2024 akan didukung oleh ekspektasi kebijakan moneter yang lebih akomodatif, pelemahan nilai tukar USD, imbal hasil US Treasury yang melandai, penurunan harga minyak dunia, dan ekspektasi membaiknya perdagangan global yang menguntungkan kawasan Asia.
“Di tengah euforia pasar pada awal tahun 2024, ada beberapa risiko yang harus dicermati. Volatilitas dapat terjadi jika pemangkasan suku bunga The Fed tidak sesuai dengan ekspektasi. Pasar memperkirakan pemangkasan akan sebesar 150 bps, sedangkan The Fed memberi sinyal
pemangkasan hanya 75 bps,” kata Ezra.
Selain itu ada risiko geopolitik di beberapa kawasan. Eskalasi konflik di Timur Tengah, antara Israel dengan Hamas, dapat menjadi perang proksi antar berbagai negara. Di kawasan Asia, pemilu di Taiwan dapat mengubah arah kebijakan diplomatik dan geopolitik antara Taiwan dan China. Sementara itu, pemilu di Amerika Serikat pada 5 November mendatang dapat mengubah arah diplomatik dan geopolitik dunia.
Pasar domestik
Dari dalam negeri, menurut Katarina Setiawan, BI telah menegaskan kembali komitmennya untuk menjaga stabilitas. “Sepertinya BI sudah mengakhiri siklus kenaikan suku bunga. Namun, BI belum memulai sikus penurunan suku bunga demi menjaga stabilitas rupiah yang menjadi prioritas BI saat ini,” katanya.
|Baca juga: MAMI: Saat Ini adalah Kesempatan Bagus Bagi Investor yang Ingin Berinvestasi di Pasar Saham Indonesia
Siklus penurunan suku bunga BI nantinya akan mengikuti perkembangan The Fed, pergerakan rupiah, dan arus masuk modal. Penyesuaian akan dilakukan secara bertahap. Secara historis, siklus penurunan suku bunga BI dimulai setelah tingkat suku bunga riil mencapai sekitar 3 persen.
MAMI memperkirakan inflasi akan tetap terkendali walaupun terjadi peningkatan harga. “Meski kenaikan harga pangan dapat berdampak pada inflasi, BI menyatakan optimisme. Intervensi pasokan pangan yang dilakukan pemerintah diperkirakan akan cukup untuk menjaga inflasi agar tetap berada dalam kisaran target 2,5 persen plus-minus satu persen pada tahun 2024. Inflasi inti yang terkendali akan membantu mengendalikan inflasi secara keseluruhan,” ujar Katarina.
Nilai Tukar Rupiah
Berbicara mengenai nilai tukar rupiah, Katarina menjelaskan bahwa tahun ini rupiah akan lebih menarik dibandingkan high yielders Asia lainnya. Suku bunga riil yang tinggi dan peluang beralihnya kebijakan moneter The Fed ke arah yang lebih akomodatif turut menjadi faktor pendukung bagi rupiah untuk berkinerja lebih baik.
“Namun, tetap ada risiko yang perlu dicermati. Narasi higher for longer menyebabkan imbal hasil obligasi negara maju tetap tinggi. Jika terus berlanjut, hal ini bisa mengakibatkan minimnya aliran dana masuk ke negara berkembang, termasuk Indonesia, dan menekan rupiah,” tuturnya.
Di sisi lain, aktivitas ekonomi diperkirakan akan meningkat, tertopang belanja pemilu dan meningkatnya belanja pemerintah, seperti terlihat pada bulan Desember 2023. Pada akhir tahun 2023 tersebut belanja pemerintah naik ke Rp616 triliun, jauh di atas Rp270 triliun pada bulan sebelumnya. Angka itu juga merupakan belanja bulanan pemerintah yang jauh di atas rata-rata bulan Desember2023 yang jumlahnya sekitar Rp350 triliun.
|Baca juga: Penutupan Perdagangan: IHSG Menghijau, Rupiah Ambruk!
Aktivitas belanja modal korporasi diperkirakan berangsur normal setelah pemilu. Dengan asumsi pemilu berjalan kondusif, maka pemilu akan berdampak netral-positif terhadap pasar
finansial Indonesia. Secara historis, pada periode pemilu sebelumnya yakni di tahun 2004, 2009, 2014, dan 2019, pasar finansial Indonesia menunjukkan pergerakan positif pada 6-12 bulan sebelum dan setelah pemilu.
Sementara itu, tercapainya puncak suku bunga, kebijakan moneter yang lebih akomodatif dan nilai tukar dolar AS yang termoderasi tahun ini akan membuat investor asing lebih berminat untuk masuk ke pasar-pasar negara berkembang. Itu merupakan katalis yang kuat bagi pasar finansial Indonesia.
“Hal ini sudah mulai terlihat dengan masuknya arus modal asing sejak dua bulan terakhir, yakni Indonesia membukukan arus dana asing selama delaapan dari sembilan minggu terakhir, dengan jumlah paling tinggi di ASEAN,” kata Katarina Setiawan.
Editor: S. Edi Santosa
| Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News