Oleh: Budi Sartono Soetiardjo
Asuransi adalah bidang usaha keuangan non bank (IKNB) yang menjadi salah satu sektor penunjang perekonomian nasional yang bergerak di bidang jasa pengalihan/pertanggungan risiko.
Perkembangan industri asuransi di Indonesia dari tahun ke tahun semakin membaik, yang ditunjukkan oleh preferensi masyarakat dalam membeli polis asuransi. Data yang dirilis oleh OJK Agustus 2023 lalu menyebutkan, pendapatan premi asuransi nasional periode Januari-Agustus 2023, mencapai Rp203,4 triliun, terkontraksi 1,20 persen dibanding tahun 2022 lalu.
Untuk asuransi jiwa, perolehan premi pada periode yang sama, mencapai Rp118,3 triliun, terkontraksi 6,58 persen. Sedangkan akumulasi perolehan premi asuransi umum dan reasuransi meningkat 7,38 persen, mencapai Rp85,13 triliun.
Namun di balik itu semua, ada satu hal penting yang harus dicermati, yakni progress kenaikan pendapatan atau laba asuransi lebih banyak didominasi oleh hasil investasi, bukan underwriting. Bentuk investasi yang banyak dilakukan antara lain dalam bentuk surat berharga negara (SBN), deposito, reksa dana, obligasi korporasi, saham dan beberapa jenis investasi lainnya.
Pendapatan perusahaan asuransi masih didominasi oleh keuntungan dari hasil investasi (> 30 persen). Belum terlihat keseimbangan antara keuntungan hasil investasi dan underwriting. Padahal, aspek underwriting sangat penting dan menjadi sumber pendapatan perusahaan asuransi yang relatif lebih stabil ketimbang investasi, yang banyak dipengaruh oleh variasi dan fluktuasi tingkat suku bunga.
Oleh sebab itu, diperlukan upaya progresif dari para pelaku industri asuransi untuk lebih mendorong aspek underwriting diperkuat, guna menjaga ketahanan dan sustainabilitas operasional perusahaan asuransi.
Industri asuransi dengan ekosistem yang sudah terbangun sejak lama, jika dicermati secara seksama, tampak bahwa pertumbuhannya belum seperti yang diharapkan, apabila dibandingkan dengan industri serupa di negara-negara tetangga, seperti Malaysia, Thailland, Singapura, Fililipina, bahkan Vietnam.
Algoritma industri asuransi di Indonesia mengalami distorsi akibat pengelolaan usaha yang belum sepenuhnya didasarkan pada prinsip keseimbangan sumber pendapatan premi. Banyaknya kasus gagal bayar belakangan ini, seharusnya menjadi warning bagi stakeholders industri ini, bahwa selama ini ada sesuatu yang tak beres pada mata rantai pengelolaan usaha asuransi.
Modal atau kapital bagi sebuah perusahaan sangat penting, namun harus dibarengi dengan upaya-upaya lain agar industri asuransi tetap berjalan pada rel yang benar sebagai jenis usaha yang berbasis pada konsep pertanggungan atau proteksi risiko, bukan yang lain.
OJK sebagai regulator bidang pengawasan semestinya mampu menjangkau serta mendeteksi potensi moral hazard dari para pelaku langsung industri ini yang dapat merusak reputasi asuransi di mata masyarakat. Sistem pengawasan berjenjang sangat efektif untuk mengontrol potensi penyimpangan pengelolaan usaha.
Begitu pula, prinsip Utmost Good Faith yang menjadi penjaga moral dan etika industri asuransi, harus ditegakkan secara adil dan bertanggungjawab, sebagai upaya untuk memulihkan marwah dunia asuransi yang belakangan ini sedang tidak baik-baik saja.
Ketahanan industri asuransi yang unbreakable, membutuhkan kerja sama moral yang sangat apik, dari jajaran paling bawah hingga paling atas dari manajemen perusahaan. Pembenahan secara berkesinambungan perlu terus diupayakan agar industri asuransi mampu ‘duduk sama rendah-berdiri sama tinggi’ dengan industri perbankan yang sudah lebih dahulu mapan, tertib, dan terkendali.
Pemerhati Publik dan Asuransi, Pengurus A3UI Jawa Barat
| Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News