Oleh: Budi Sartono Soetiardjo
Diksi independensi bisa dimaknai sebagai ‘Sikap bebas mengatur dirinya sendiri, tidak bergantung dan tidak tergantung pada seorang atau pihak lain, tidak mudah diintervensi, dan dalam batas-batas tertentu, memiliki otoritas dengan segala tanggungjawabnya’.
Eksistensi agen asuransi secara ‘de Jure’ diatur dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 Tentang Perasuransian, sebagaimana disebut dalam Bab I, pasal 1 ayat 28, yang esensinya: agen asuransi adalah wakil atau duta perusahaan asuransi untuk memasarkan produk-produknya. Hal tersebut dipertegas lagi oleh kehadiran Undang-Undang Nomor 4 tahun 2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (UU P2SK) pada Bab VI, Pasal 1, ayat 28, yang pada hakikatnya, isi dan maknanya setali tiga uang.
Walaupun berperan sebagai wakil perusahaan dan pemasar produk, agen asuransi bukanlah bagian organik dari perusahaan asuransi. Agen asuransi tidak menerima gaji dan fasilitas apa pun dari perusahaan asuransi. Bahkan, pendidikan dan/atau pelatihan yang semestinya secara reguler diberikan oleh perusahaan asuransi, dalam kenyataannya sangat jarang diberikan.
Hal ini mengindikasikan bahwa sesungguhnya agen asuransi adalah entitas independen, yang memiliki kebebasan untuk tidak terikat mutlak hanya pada satu perusahaan asuransi.
Diksi wakil perusahaan asuransi tidak serta merta dimaknai sebagai wakil dari satu perusahaan asuransi. Ada kebebasan, independensi seorang agen memilih atau menunjuk perusahaan asuransi tertentu, sesuai dengan kebutuhan dan kepentingan nasabahnya. Selain itu, agen asuransi tidak memperoleh hak-hak normatif dari perusahaan asuransi, sebagaimana yang diterima oleh karyawan tetap, atau bagian organik perusahaan asuransi.
Alih-alih memperoleh gaji atau fasilitas, jaminan kesehatan (BPJS Kesehatan) pun tidak diperoleh agen asuransi. Jika pun ada, hanya beberapa gelintir perusahaan asuransi yang memberikannya.
Oleh karena itu, terminologi agen sebagai wakil perusahaan asuransi, sebagaimana yang dimaksud dalam Undang-Undang nomor 40 tahun 2014 maupun Undang-Undang Nomor 4 tahun 2023 perlu dikaji ulang, mengingat implementasinya ‘Jauh panggang dari api’, tidak sesuai dengan kenyataan.
Agen asuransi hanya sebatas memperoleh sejumlah nominal uang jasa pemasaran, yang disebut komisi. Padahal, peran dan kontribusi agen asuransi ada dan nyata, yakni ikut membangun, memajukan serta mengembangkan perusahaan asuransi, melalui kerja-kerja pemasaran dalam upaya meningkatkan pendapatan premi perusahaan asuransi.
Agen asuransi umum belum memperoleh apresiasi sebagaimana layaknya. Kendati disebut sebagai wakil perusahaan asuransi, namun banyak hak yang belum dipenuhi perusahaan asuransi di mana para agen asuransi bernaung, dan diikat oleh suatu perjanjian kerja sama.
Peraturan OJK (POJK) Nomor 69/POJK.05/2016 tentang Penyelenggaraan Usaha Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, Perusahaan Reasuransi, dan Perusahaan Reasuransi Syariah menyebutkan: “Satu agen hanya boleh mewakili satu perusahaan asuransi sejenis”, semakin mengebiri hak hidup serta mempersempit ruang gerak para agen asuransi umum. Agen seperti berada dalam kerangkeng besi, tidak leluasa menempatkan kepentingan client-nya lantaran ada aturan yang membelenggunya.
Asuransi umum adalah bisnis multilini-multirisiko-multiokupasi, tidak seperti asuransi jiwa yang bisnisnya bersifat linier dengan periode pertanggungan relatif lama. Agen asuransi memang harus independen, baik dalam memilih perusahaan asuransi, menempatkan bisnisnya, bahkan membagi bisnis ke perusahaan asuransi lain dalam konteks ko-asuransi.
Dapat dipastikan, hampir sebagian besar perusahaan asuransi umum tak bakal mampu meng-cover atau memproteksi sendirian seluruh risiko untuk berbagai jenis okupasi dengan nilai pertanggungan yang sangat besar. Keterbatasan inilah yang semestinya dipahami oleh regulator, bahwa agen asuransi tidak mungkin menempatkan seluruh bisnisnya hanya di satu perusahaan asuransi.
Belum lagi, adanya exclusion atau pengecualian terhadap risiko-risiko tertentu yang tidak bisa di-cover oleh sebuah perusahaan asuransi. Sebagai pembuat kebijakan sekaligus penerbit peraturan, Otoritas Jasa Keuangan harus realistis, melihat data dan fakta yang ada di lapangan. Independensi agen asuransi umum adalah sebuah keniscayaan, apabila kita masih menginginkan nasib dan masa depan agen asuransi umum di Indonesia terjaga, bahkan bisa lebih baik. Asuransi adalah bisnis kepercayaan, yang dalam penyelenggaraannya, salah satunya dihasilkan oleh kerja-kerja produktif para agen asuransi. Keberadaan dan eksistensi agen asuransi dijamin oleh Undang-Undang. Kebijakan dan peraturan yang memarjinalkan, bahkan mempersempit ruang gerak para agen asuransi umum, sudah saatnya ditinjau ulang karena pada praktiknya tidak sesuai dengan kondisi di lapangan.
Inilah yang perlu dikoreksi oleh regulator atas keberadaan Nomor 69/POJK.05/2016, yang memberatkan sekaligus sangat merugikan agen asuransi umum. Suatu kebijakan pemerintah selayaknya mempertimbangkan kepentingan berbagai pihak yang terlibat langsung maupun tidak langsung, dalam aktivitas bisnis asuransi. Azas kemaslahatan bersama harus menjadi pijakan kebijakan yang dibuat oleh pemerintah, khususnya dalam memberikan perlindungan terhadap eksistensi, hak hidup para agen asuransi umum di Indonesia.
Penulis adalah Pemerhati Publik & Asuransi
| Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News