Oleh : Azuarini Diah* dan Irvan Rahardjo**
Persoalan di industri asuransi kembali terjadi. Kali ini, jagat sosial media dihebohkan oleh para pemegang polis produk asuransi berbalut investasi atau unitlink ramai membahas kerugian investasinya. Fenomena ini tak terlepas dari banyaknya pemegang polis yang masih awam dalam hal berinvestasi. Lantaran beranggapan dan tidak paham bahwa nilai tunai polis bisa turun tanpa menyadari risikonya.
OJK telah memetakan banyaknya pengaduan nasabah unitlink yang terdampak mis selling. Berdasarkan data OJK, pengaduan produk unit-link pada periode 2020 tercatat naik mencapai 593 layanan konsumen, dari 360 pada 2019. Sementara itu, sepanjang 2021, jumlah pengaduan konsumen ke OJK terkait PAYDI sudah mencapai 273 layanan konsumen.
Terdapat enam aspek yang menjadi sorotan OJK. Pertama, maraknya proses pemasaran unitlink yang menyerupai multy level marketing (MLM), yang lebih menekankan bonus income, banyak agen tidak tersertifikasi, dan sistem ini membuat kecenderungan agen tidak memberikan pemahaman kepada konsumen dengan baik. Kedua, asumsi yang digunakan kebanyakan over estimated karena kompetisi, serta tidak mengungkap histori kinerja produk unitlink yang dimiliki perusahaan asuransi itu sendiri.
Ketiga, yaitu kebocoran data lewat pertukaran informasi pribadi di antara agen secara tidak sah, bahkan terdapat potensi jual-beli informasi secara ilegal. Keempat, minimnya transparansi. Seperti, tidak mengungkap manfaat, risiko, dan biaya; tidak ada penjelasan premi, premi dasar, dan premi top up, serta menekankan kata tabungan agar dianggap tidak berisiko, atau menjamin kepastian bahwa nasabah bakal mendapat profit.
Kelima, terkait sertifikasi agen yang standarnya rendah dan terdapat praktik perjokian. Terakhir, remunerasi agen yang jor-joran karena terpusat pada target dan insentif, serta dapat menjual lebih dari satu produk dari beberapa perusahaan yang berbeda.
Adapun, aspek lainnya yang juga tengah disoroti OJK, di antaranya terdapat oknum agen yang tergolong fraud atas setoran premi nasabah, welcoming call dengan pertanyaan tertutup, ‘unitlink statement’ yang hanya mencakup biaya asuransi dan administrasi, serta tidak adanya informasi perhitungan pengembalian premi apabila terjadi pembatalan kontrak pada saat polis berlangsung.
Persoalan di industri asuransi bermula saat inklusi keuangan cukup tinggi, namun literasinya masih rendah. Artinya, produk keuangan sudah banyak diminati masyarakat namun pemahaman terhadap produk itu masih rendah. Berdasar pengalaman selama ini baik di bank maupun asuransi, pengetahuan akan investasi masih perlu ditingkatkan.
Bahkan perusahaan asuransi sedari awal sebenarnya tidak diperuntukkan mengelola investasi, tetapi hanya sebagai manajer risiko. Adapun, fungsi mengelola investasi sudah ditangani oleh manajer investasi.
Saat ini penjualan asuransi hanya menggunakan ilustrasi imbal hasil yang rendah, sedang, hingga tinggi. Padahal menekankan investasi juga bisa negatif alias rugi. Bila untung, nasabah cenderung diam namun ketika rugi mengaku tidak tahu. Belum lagi pemegang polis tidak memonitor dan menyesuaikan kondisi pasar dengan portofolio. Persoalan lainnya, kedisiplinan pemegang polis terhadap kondisi pasar. Perusahaan asuransi harus punya mekanisme dalam memberikan info pasar kepada nasabahnya sebagai salah satu bentuk edukasi.
Dengan memahami industri sudah telanjur besar dari penjualan produk unitlink tercatat telah mencakup 63,1 persen dari portofolio asuransi jiwa, dibutuhkan reformasi besar untuk menata ulang industri asuransi yang pernah dicanangkan oleh OJK.
Survei Nasional Literasi dan Inklusi Keuangan ketiga yang dilakukan OJK pada tahun 2019 menunjukkan indeks literasi keuangan mencapai 38,03 persen dan indeks inklusi keuangan 76,19 persen. Angka tersebut meningkat dibanding hasil survei OJK 2016 yaitu indeks literasi keuangan 29,7 persen dan indeks inklusi keuangan 67,8 persen, survei 2013 indeks literasi keuangan 21,84 persen dan indeks inklusi keuangan 59,74 persen. Di dalamnya literasi asuransi sebesar 15,8 persen (2013) dan 19,4 persen (2019). Dalam 3 tahun terakhir terdapat peningkatan pemahaman keuangan (literasi) masyarakat sebesar 8,33 persen, serta peningkatan akses terhadap produk dan layanan jasa keuangan (inklusi keuangan) sebesar 8,39 persen.
Indonesia berada di urutan keempat dalam hal literasi keuangan dibanding beberapa negara OECD dengan nilai 3, 9 setelah Hong Kong, China 5,8, Korea Thailand 3,9. Indonesia sedikit di atas Malaysia 3,6 (OECD, 2019).
Bagaimana menjembatani gap yang demikian lebar antara inklusi keuangan dan literasi asuransi kita? Pertama, misselling dari pemasaran unitlink berhubungan erat dengan kemampuan perusahaan asuransi untuk ikut menekan gap inklusi dan literasi asuransi di Indonesia dengan edukasi yang baik kepada masyarakat pada umumnya. Untuk mengedukasi masyarakat, perusahaan harus terjun di pasar bebas, di luar sektor perbankan yang menjadi tumpuan bisnis asuransi jiwa melalui saluran bancassurance selama ini. Khususnya menyasar kaum milenial yang menjadi menjadi bagian terbesar dari penduduk Indonesia saat ini. Harus ada proses edukasi yang langsung dirasakan masyarakat.
Kedua, calon pemegang polis agar memastikan agen yang menawarkan produk asuransi memiliki lisensi dari Asosiasi Asuransi Jiwa Indonesia (AAJI). Juga penting untuk meminta ilustrasi unitlink yang jelas. Lalu menguji kebenaran penjelasan agen kepada perusahaan asuransi terkait.
Ketiga, secara umum pembatasan terkait penempatan instrumen investasi saja tak cukup. Pasalnya, misselling dari pemasaran unitlink juga berhubungan erat dengan kemampuan perusahaan asuransi untuk ikut menekan gap inklusi dan literasi asuransi di Indonesia. Dalam rencana pembatasan unitlink, OJK berencana mengatur porsi investasi dan kebijakan penempatan instrumen investasi yang dilakukan oleh perusahaan asuransi. Oleh sebab itu, wacana aturan main baru OJK soal pembatasan produk unitlink yang rencananya meluncur pada kuartal II/2021 pun patut disimak.
Keempat, penyusunan regulasi terkait investasi unitlink dinilai harus mempertimbangkan kebutuhan masyarakat terhadap proteksi dan kesiapan industri dalam menghadapi penerapan IFRS 17. Pandemi Covid-19 memberikan dampak cukup besar bagi masyarakat dalam memilih produk asuransi.
Hal itu tercermin dari turunnya jumlah tertanggung produk unitlink. Berdasarkan data OJK, pada 2020 jumlah tertanggung unitlink tercatat sebanyak 4,28 juta jiwa, merosot hingga 35,19 persen (year on year/yoy) dari tahun sebelumnya sebanyak 6,61 juta jiwa. Jumlah tertanggung pada 2019 pun sudah menurun 2,2 persen (yoy) dari 2018 sebanyak 6,76 juta jiwa. Perlu diteliti lagi oleh OJK mana yang penurunannya dampak dari pandemi Covid-19 dan mana karena faktor turunnya kepercayaan kepada produk unitlink.
Kondisi itu menjadi sinyal bahwa industri asuransi harus kembali ke jati dirinya sebagai penyedia proteksi. Lunturnya kepercayaan masyarakat terhadap unitlink tak lepas dari kinerja investasi yang tidak sesuai harapan. Terdapat sejumlah faktor yang menimbulkan sentimen tertentu bagi unitlink mulai dari proses pemasaran yang kurang tepat (misselling), pemahaman masyarakat yang kurang baik terhadap produk tersebut, hingga pengelolaan investasi yang kurang optimal. Regulasi yang ada harus mampu menangkap berbagai persoalan itu.
*Ketua Komisi Komunikasi dan Publikasi DAI & Ketua Bidang Keanggotaan & Komunikasi KUPASI
**Arbiter Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI )
| Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News