1
1

Inklusivitas Asuransi, Antara Harapan dan Kenyataan

Budi Sartono Soetiardjo Pemerhati Publik & Asuransi. | Foto: doc

Oleh Budi Sartono Soetiardjo*

 

Kata inklusi sering ditulis dan diucapkan oleh banyak orang, tapi tidak semua orang memahaminya dengan baik. Dalam KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia), inklusi dimaknai sebagai “Termasuk atau terhitung”. Namun secara umum, inklusi bisa dimaknai sebagai “Partisipasi, menjadi bagian, atau akses”.

Inklusi dan inklusivitas masyarakat terhadap asuransi ditentukan oleh banyak hal. Di antaranya adalah, edukasi yang cukup, yang berujung pada literasi, kesadaran, kebutuhan, rasa memiliki. Serta menjadi bagian dari aspek keterlibatan, baik dari sisi emosional, personal, maupun sosial.

Ada pepatah “Tak kenal maka tak sayang”. Pepatah ini barangkali merupakan ungkapan yang paling tepat guna menggambarkan apa itu inklusi atau inklusivitas.

Isu inklusivitas asuransi senantiasa didengungkan oleh para pihak yang berkepentingan terhadap maju-mundur, hidup-matinya usaha ini. Pada hakikatnya, inklusi asuransi bukan sekadar angka-angka bisnis untuk mengeruk keuntungan perusahaan asuransi.

Inklusivitas sejatinya dibangun untuk kepentingan masyarakat, dalam konteks bahwa asuransi adalah bagian dari sikap saling tolong, saling bantu antarwarga masyarakat.

Oleh sebab itu, inklusivitas sebetulnya dapat dibangun dan ditumbuh-kembangkan di masyarakat dalam konsep dan tataran budaya gotong-royong atau tolong-menolong. Asuransi idealnya dibangun dengan memanfaatkan konsep tersebut. Budaya gotong-royong dapat menjadi pintu masuk menumbuh-kembangkan inklusivitas asuransi.

Mengenai format, model atau formula asuransinya, tentu saja dapat dirumuskan bersama, apakah mau menggunakan model syariah, mutual atau yang yang lain, melalui kajian-kajian akademik-saintifik maupun kajian empirik-historik.

Jujur saja, inklusi asuransi di masyarakat sangat tertinggal jauh dengan dunia perbankan. Inklusivitas perbankan cukup tinggi, bisa mencapai 80 persen, dengan tingkat literasi yang justru relatif rendah, yakni sekitar 20 persen.

Tantangan terbesar industri asuransi adalah bagaimana inklusivitas tak sekadar narasi, tanpa aksi maupun solusi. Stigma negatif asuransi yang hanya jual janji, harus diubah melalui upaya-upaya yang terukur dan berkelanjutan. Industri asuransi harus mencari jalan tersingkat untuk mengejar segala ketertinggalannya.

Penetrasi pasar asuransi yang belum progresif (+ tiga persen) menjadi indikator bahwa inklusivitas masih menjadi PR besar bagi industri asuransi.

Sekali lagi, inklusi asuransi bukan sekadar angka premi, namun sesungguhnya adalah bagaimana industri asuransi membangun budaya –di dalam budaya ada visi, inovasi, dan kreasi— yang menjadikan asuransi sebagai kebutuhan hidup dan jaring pengaman ekonomi keluarga.

Salam

*Penulis adalah pemerhati publik & asuransi

 

| Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Related Posts
Prev Post OJK Dorong UMKM Gunakan Pasar Modal Sebagai Sumber Pendanaan
Next Post PT Asuransi Digital Bersama Catatkan Kinerja Gemilang

Member Login

or