1
1

Tanggung Jawab Jawab Hukum Pihak Ketiga Bagi Pemilik Kendaraan Sebagai Asuransi Wajib, Sebuah Masukan Kritis Bagi Pemangku Kepentingan

Arbiter, Konsultan Hukum, Transformasi Korporasi & Tata Kelola, Veteran Praktisi Asuransi, Wirausaha, A. Junaedy Ganie. | Foto: A. Junaedy Ganie

Oleh: Dr. A. Junaedy Ganie, SE, SH, MH

 

Undang-Undang (UU) No. 4 Tahun 2023 Tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (UU P2SK) Bab VI Perasuransian berisi perubahan, penghapusan, dan/atau penetapan atas ketentuan dalam UU No. 40 tahun 2014 tentang Perasuransian. Dalam UU P2SK terdapat ketentuan baru, antara lain, adanya Pasal 39A yang memungkinkan pemerintah membentuk Program Asuransi Wajib sesuai dengan kebutuhan dan mewajibkan kelompok tertentu dalam masyarakat untuk ikut serta  dalam Program Asuransi Wajib serta mewajibkan masyarakat untuk membayar Premi atau Kontribusi keikutsertaan sebagai salah satu sumber pendanaan Program Asuransi Wajib tersebut.

Menurut Penjelasan atas Pasal 39A tersebut, Program Asuransi Wajib  diantaranya mencakup asuransi Tanggung Jawab Hukum Pihak Ketiga (TJH atau Third Party Liability Insurance/TPL) akibat kecelakaan lalu lintas, Asuransi Kebakaran, dan Asuransi Rumah Tinggal terhadap risiko bencana dan bahwa dalam penyusunan Peraturan Pemerintah, Pemerintah dapat berkoordinasi dengan Otoritas Jasa Keuangan (OJK).

Dalam siaran pers 18 Juli 2024, Kepala Eksekutif Pengawas Perasuransian, Penjaminan, dan Dana Pensiun OJK, Ogi Prastomiyono, mengatakan bahwa pelaksanaan Program Asuransi Wajib tersebut masih menunggu terbitnya Peraturan Pemerintah (PP) sebagai payung hukum pelaksanaannya, seperti tentang ruang lingkup dan waktu efektif pelaksanaannya. Menurut UU P2SK, setiap amanat UU P2SK diikuti dengan penyusunan peraturan pelaksanaan dan penetapannya paling lama dua tahun sejak UU P2SK diundangkan. Hal ini berarti paling lambat 12 Januari 2025. OJK akan meyusun peraturan implementasi terhadap Program Asuransi Wajib setelah PP diterbitkan.

Penulis sepakat dengan isi siaran pers OJK bahwa dalam persiapannya diperlukan kajian yang mendalam terlebih dahulu mengenai Program Asuransi Wajib yang diperlukan. Hal ini  berarti, diperlukan kajian termasuk pertimbangan dan penentuan kelompok masyarakat yang akan diwajibkan memiliki asuransi-asuransi wajib tersebut. Yang menarik dan sudah diterapkan pada sebagian negara di ASEAN adalah Asuransi Tanggung Jawab Hukum (TJH) bagi pemilik kendaraan bermotor. Jenis asuransi ini telah menjadi paket wajib atas setiap pembelian asuransi kendaraan bermotor di Indonesia sehingga bukan merupakan hal baru.

Siaran pers OJK menyatakan bahwa tujuan Asuransi Wajib TJH atas akibat kecelakaan lalu lintas adalah untuk memberikan perlindungan finansial yang lebih baik kepada masyarakat sebab akan mengurangi beban finansial bagi pemilik kendaraan jika terjadi kecelakaan, dan lebih jauh lagi akan membentuk perilaku berkendara yang lebih baik, meningkatkan perlindungan masyarakat dan mendorong pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan.

Hal yang perlu diperhatikan oleh DPR, pemerintah dan OJK, antara lain, adalah siapa yang akan menjadi penyelenggara asuransi wajib tersebut, khususnya Asuransi TJH. Kombinasi frasa ”pemerintah membentuk Program Asuransi Wajib sesuai dengan kebutuhan”, ”pemerintah dapat mewajibkan kepada kelompok tertentu dalam masyarakat untuk ikut serta  dalam Program Asuransi Wajib”,  ”mewajibkan masyarakat untuk membayar Premi atau Kontribusi keikutsertaan sebagai salah satu sumber pendanaan Program Asuransi Wajib” dalam pasal 39A tersebut mungkin lebih mengandung kepada pengertian seolah-olah pemerintah akan mendirikan satu badan hukum baru atau menunjuk lembaga yang akan menjadi penyelenggara Program Asuransi Wajib dimaksud.

Kalau demikian halnya, adalah penting untuk mempertimbangkan bahwa:

Kebutuhan modal yang besar untuk mendirikan badan penyelenggara tersebut selain dari tuntutan yang tinggi dalam pemilihan dan penempatan pemimpin-pemimpin yang andal dan memiliki integritas tinggi.

Dampak kegagalan beberapa BUMN dalam penyelenggaraan asuransi komersial selama ini seperti yang terjadi pada Jiwasraya, ASABRI, termasuk pemberian PMN untuk memperkuat keuangan perusahaan tertentu yang mungkin telah menurunkan tingkat kepercayaan masyarakat terhadap BUMN dalam sektor ini selain dapat pula mencerminkan adanya kegagalan pengelolaan.

Dugaan adanya arus persepsi yang meragukan atau mempertanyakan keberlanjutan (sustainability) dan transparansi pengelolaan lembaga pemerintah atas dana wajib yang dikumpulkan dari masyarakat.

Lambannya efektivitas upaya peningkatan kapasitas asuransi dalam negeri untuk mengurangi aliran devisa keluar negeri melalui penempatan reasuransi yang besar yang mungkin lebih mendesak untuk dibenahi.

Penyelenggaraan yang dilakukan di bawah satu lembaga yang tidak harus berjuang memperoleh nasabah melalui persaingan pasar, kompetensi dan layanan dapat menimbulkan dampak yang merugikan masyarakat peserta asurasi wajib.

Besarnya premi asuransi atau kontribusi asuransi dapat tidak bersifat transparan, tidak mencerminkan mekanisme persaingan pasar, tetapi sepenuhnya berdasar kebijakan penyelenggara.

Kemungkinan adanya tumpang tindih dengan BUMN lain seperti Jasa Raharja yang menyediakan jasa asuransi kecelakaan lalu lintas, dan

Terakhir dan tidak kalah pentingnya, kebijakan penyelenggaraan Asuransi TJH oleh satu atau lebih lembaga pemerintah atau yang ditunjuk pemerintah akan mengambil alih ceruk pasar yang selama ini telah menjadi bagian dasar dari jenis asuransi kendaraan bermotor  yang ditangani secara bebas oleh perusahaan asuransi komersial nasional, BUMN dan usaha patungan (joint venture) dan apakah pengambilalihan atau persaingan dengan perusahaan asuransi komersial (swasta dan BUMN) akan lebih menguntungkan dan bermanfaat bagi masyarakat.

 

Masukan bagi pemangku kepentingan

Besarnya manfaat Asuransi Wajib TJH tidak perlu diragukan lagi dan selama ini setiap pembelian asuransi kendaraan bermotor telah disertai secara otomatis dengan jaminan TJH tersebut. Permasalahannya adalah apakah jumlah atau batas TJH yang dibeli telah mencukupi dan bagaimana mengatur agar pemilik kendaraan tetap memiliki jaminan TJH ketika perjanjian kredit telah lunas sebab banyak pembelian asuransi timbul semata-mata sebagai pemenuhan persyaratan wajib dari pemberi kredit.

Dengan memperhatikan pertimbangan-pertimbangan diatas, akan lebih tepat dan bijak kiranya, pemerintah melaksanakan penetapan Asuransi TJH sebagai Asuransi Wajib namun pelaksanaannya sepenuhnya diserahkan kepada masyarakat untuk membeli dari perusahaan asuransi manapun di Indonesia yang mempoleh Ijin Operasi dari OJK dan besaran preminya diserahkan kepada mekanisme persaingan pasar sesuai hasil statistik masing-masing penanggung.

Masyarakat dapat membeli langsung, melalui pialang atau agen asuransi. Kebijakan tersebut akan menghindarkan persaingan antara, atau pengambilalihan ceruk bisnis oleh badan pemerintah dan sektor swasta, sekiranya asumsi penulis tentang kandungan UU P2SK tentang adanya badan pemerintah khusus untuk menangani Asuransi TJH sebagai bagian  dari Porgram Asuransi  Wajib. Untuk mekanisme pengawasan, mungkin dapat dilakukan, misalnya, sebagai persyaratan perpanjangan STNK yang terjadi setiap tahun.

 Jakarta, Oktober 2024.

Penulis adalah: Arbiter, Konsultan Hukum, Transformasi Korporasi & Tata Kelola, Veteran Praktisi Asuransi, Wirausaha.

 

| Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Related Posts
Prev Post OJK Mencabut Izin Usaha Investree
Next Post FIFGROUP Gelar SPEKTRA di Semarang

Member Login

or