Oleh: Budi Sartono Soetiardjo
Utmost good faith (UGF), jika diterjemahkan secara bebas artinya kurang lebih adalah itikad, niat, kehendak, atau kemauan baik. Kalangan asuransi menggolongkan UGF sebagai salah satu prinsip dasar asuransi.
Padahal, apabila ditilik dari hakikat dan kacamata semantik, UGF adalah landasan moral semua orang dalam bertindak, bersikap maupun berbuat baik di dalam kehidupan sehari-hari. Orang mencari nafkah, bekerja, belajar, berbisnis, dan lain-lain, pasti semuanya selalu didasari serta diawali oleh ‘nawaitu’, suatu niat atau itikad baik.
Oleh sebab itu, dalam konteks berasuransi, UGF harus menjadi landasan moral bagi para pihak, terutama penanggung dan tertanggung, dalam membuat kontrak atau perjanjian pengalihan dan pertanggungan risiko.
Kasus gagal atau tunda bayar beberapa perusahaan asuransi beberapa waktu lalu, merupakan salah satu bukti bahwa utmost good faith tak semudah diucapkan.
Utmost good faith harus diimplementasikan pada lima prinsip dasar asuransi lainnya, yakni insurable interest, indemnity, subrogasi, kontribusi, dan proximate cause.
- Utmost good faith terhadap insurable interest
Insurable interest atau kepentingan yang bisa atau layak diasuransikan adalah obyek pertanggungan yang harus jelas, proper, layak, terinci dan terukur. Dua pihak, yakni penanggung dan tertanggung, sepakat membuat perjanjian asuransi secara jujur, terbuka, tanpa pretensi maupun tendensi mengambil keuntungan dari isi perjanjian. Tidak boleh ada dusta, pembohongan atau manipulasi dari kedua belah pihak untuk menghindari terjadinya ‘dispute’ atau perselisihan.
- Utmost good faith terhadap prinsip indemnity
Pada saat terjadi klaim, penghitungan dan penetapan ganti rugi tak boleh dilakukan secara sepihak guna menghindari terjadinya conflict of interest. Untuk itu, diperlukan pihak ketiga (baca: loss adjuster) agar nilai ganti rugi fair, reasonable, dan akuntabel.
Jumlah ganti rugi acapkali sulit menemukan titik temu atau kata sepakat karena adanya itikad kurang baik untuk mewujudkan kejujuran. Oleh sebab itu, diperlukan keterbukaan dan transparansi kedua belah pihak, baik penanggung maupun tertanggung.
- Utmost good faith terhadap prinsip subrogasi
Prinsip subrogasi adalah hak hukum pihak penanggung menggantikan atau mewakili tertanggung untuk melakukan tuntutan kepada pihak ketiga atas terjadinya suatu peristiwa yang menimbulkan kerugian.
Subrogasi baru dapat efektif dilakukan apabila kewajiban ganti rugi telah ditunaikan pihak penanggung. Dalam subrogasi, pihak tertanggung tak bisa dan tak boleh ‘cawe-cawe’ lagi untuk kepentingannya sendiri
- Utmost good faith terhadap prinsip kontribusi
Prinsip kontribusi berlaku untuk satu atau beberapa perusahaan asuransi yang secara bersama-sama menanggung suatu obyek insurable interest, yang lazim dikenal dengan sebutan koasuransi.
Leader maupun member koasuransi memiliki hak dan kewajiban yang sama sesuai dengan porsi tanggungjawab masing-masing. Utmost good faith dalam konteks kontribusi adalah kesepakatan-kesepakatan yang harus dipatuhi bersama, tak boleh dilanggar dan bersifat diskriminatif, baik bagi leader maupun member koasuransi.
Utmost good faith terhadap prinsip kontribusi baru terlihat pada saat terjadi klaim, terutama dalam konteks penyelesaian serta pembayaran ganti rugi kepada pihak tertanggung.
- Utmost good faith terhadap prinsip proximate cause
Proximate cause dimaknai sebagai penyebab langsung dan terdekat dari suatu peristiwa yang menimbulkan suatu kerugian, baik pada harta benda maupun jiwa yang dipertanggungkan.
Memastikan penyebab terdekat suatu peristiwa (perils) yang menimbulkan kerugian menjadi sangat penting untuk menjadi dasar diterima atau tidaknya suatu tuntutan ganti rugi.
Dalam beberapa kasus klaim, proximate cause bisa ‘debatable’, sehingga menimbulkan tarik menarik kepentingan antara penanggung dan tertanggung di dalam membuat keputusan akhir ditolak atau diterimanya suatu tuntutan ganti rugi.
Penolakan klaim tanpa didasari oleh penelitian dan investigasi yang akuntabel berbasis saintifik-komprehensif, mengindikasikan bahwa telah terjadi pelanggaran terhadap prinsip Utmost good faith oleh pihak penanggung.
Oleh sebab itu, independensi pihak ketiga (loss adjuster) sangat diperlukan agar keputusan yang dihasilkan fair, tidak memihak dan dapat diterima secara obyektif oleh tertanggung.
Menentukan proximate cause suatu peristiwa yang menimbulkan tuntutan ganti rugi harus dilakukan secara hati-hati serta profesional untuk menghindari terjadinya perselisihan yang berkepanjangan.
Utmost good faith sebagai landasan moral suatu perjanjian harus diwujudkan dalam bentuk aturan-aturan yang jelas, non diskriminatif, tidak tendensius dan senantiasa menjunjung tinggi rasa keadilan.
Penulis adalah Pemerhati Publik & Asuransi
| Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News