Media Asuransi, JAKARTA – Pasal 251 Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD), yang mengatur asas itikad baik atau utmost good faith, memiliki peran krusial dalam menjaga integritas industri asuransi.
Pengamat Asuransi sekaligus Dosen Senior Hukum Asuransi di Fakultas Hukum Universitas Indonesia Kornelius Simanjuntak menilai penerapan pasal ini menjadi landasan utama untuk memastikan semua pihak, khususnya tertanggung, bersikap jujur dalam proses pengajuan asuransi.
|Baca juga: Sompo Insurance Indonesia Sukses Gelar Sompo Road to Bulan Inklusi Keuangan
|Baca juga: QBE Minta Maaf Usai Tidak Tepati Janji Berikan Diskon Asuransi ke Nasabah
“Pasal 251 KUHD ini memuat ketentuan dan prinsip atau asas yang disebut ‘Asas Itikad Paling Baik’. Pasal ini mencegah orang yang tidak jujur untuk memanfaatkan asuransi mendapatkan pembayaran klaim yang tidak sah (penipuan),” ujar Kornelius, kepada Media Asuransi, Senin, 28 Oktober 2024.
Menurutnya, prinsip ini bukan sekadar formalitas, tetapi instrumen hukum yang penting untuk mencegah praktik moral hazard yang dapat merugikan perusahaan asuransi.
Asas itikad baik mengharuskan tertanggung untuk memberikan informasi yang lengkap dan akurat terkait kondisi objek yang diasuransikan. Jika tertanggung gagal melakukannya, misalnya, dalam kasus calon tertanggung yang tidak jujur mengenai riwayat kesehatannya maka polis asuransi berpotensi dibatalkan.
|Baca juga: Makin Tajir Melintir! Elon Musk Raup Rp405 Triliun Usai Saham Tesla Melejit
|Baca juga: Survei Zurich: Keterbatasan Finansial Jadi Penghambat Masyarakat Malaysia Hadapi Iklim Ekstrem
Ia mencontohkan kasus di mana tertanggung tidak jujur mengenai kondisi kesehatannya saat mengajukan asuransi jiwa. Misalnya, dalam formulir Surat Permohonan Asuransi Jiwa (SPAJ), calon tertanggung ditanya apakah memiliki riwayat penyakit tertentu, seperti diabetes.
Jika calon tertanggung tidak jujur dan kemudian terbukti ia sudah menderita diabetes sebelum pembelian polis, perusahaan asuransi memiliki hak untuk membatalkan polis dan menolak klaim. “Karena tertanggung tidak jujur maka polis asuransi menjadi batal dengan sendirinya atau dibatalkan oleh pihak perusahaan asuransi, dan klaim tidak dibayarkan,” jelasnya.
Kornelius mengungkapkan, menurut pengalamannya dalam penulisan skripsi dan tesis (S2) di Fakultas Hukum Indonesia, sebagian besar diketahui tertanggung asuransi tidak jujur, sehingga hal ini menyebabkan perusahaan asuransi menolak membayarkan klaim.
Dalam konteks yang lebih luas, Pasal 251 KUHD juga menjadi pelindung bagi tertanggung yang jujur, karena mengurangi risiko klaim palsu yang dapat merugikan premi nasabah lainnya.
|Baca juga: Bos IRDAI Ajak Konglomerat Rambah Industri Asuransi, Bikin Ketiban Durian Runtuh?
|Baca juga: Kebijakan Prabowonomics Disebut Langkah Berani Raih Pertumbuhan Ekonomi Tembus 8%
Kornelius menegaskan penerapan asas itikad baik ini mampu melindungi perusahaan asuransi dari berbagai upaya penipuan, serta menjamin hanya tertanggung yang memenuhi syarat dan bersikap jujur yang akan memperoleh haknya dalam bentuk klaim asuransi.
Sebelumnya, seorang ahli waris bernama Maribati Duha, penerima manfaat asuransi atas nama Almarhum Sopan Santun Duha, mengajukan permohonan pengujian materi Pasal 251 Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD) terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia (UUD NRI) Tahun 1945.
Permohonan ini didasari keyakinan bahwa ketentuan dalam pasal tersebut memberikan ruang besar bagi perusahaan asuransi untuk memanfaatkan regulasi demi kepentingan pribadi.
|Baca juga: 6 Cara Efektif Menemukan Produk Asuransi yang Tepat untuk Anda
|Baca juga: Menyalakan Asa Keberlanjutan di Target NZE
Pemohon dalam Perkara Nomor 83/PUU-XXII/2024 menilai bahwa Pasal 251 KUHD bisa menjadi pedang bermata dua: di satu sisi, pasal ini melindungi perusahaan asuransi dari klaim yang tidak sah, namun di sisi lain, dinilai bisa dimanfaatkan untuk menolak klaim ahli waris yang seharusnya berhak.
Editor: Angga Bratadharma
| Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News