Media Asuransi, JAKARTA – Literasi keuangan dinilai bukan satu-satunya faktor yang terpenting sebagai penyebab stagnasi pertumbuhan sektor asuransi di Indonesia.
Hal tersebut terungkap dalam hasil riset yang dilakukan oleh lembaga think thank di bawah Indonesia Financial Group (IFG) yaitu IFG Financial Progress. Melalui riset bertajuk Dissecting Indonesia’s Insurance Demand yang dirilis pada 8 November 2022, Head of IFG Progress Reza Yamora Siregar dan Research Associate IFG Rizky Rizaldi Ronaldo mengatakan literasi keuangan merupakan indikator yang penting bagi sektor asuransi, tetapi estimasi awal menunjukkan bahwa literasi keuangan bukan yang terpenting dan satu-satunya.
Menurutnya, faktor-faktor lain seperti pendapatan, urbanisasi, supply-chain, preferensi konsumen, dan trust memainkan peran yang sangat penting, jika tidak paling penting.
IFG Progress menilai peran pemerintah, stakeholder sektor asuransi, dan konsumen merupakan ekosistem yang saling melengkapi. “Pengembangan yang timpang, seperti terfokus pada sisi konsumen terkait literasi keuangan, tidak akan mendorong sektor asuransi ke-arah yang lebih inklusif dan robust.”
|Baca juga: 3 Faktor Kunci Penyebab Risiko Asuransi Directors and Officers (D&O)
Dalam laporan tersebut IFG memaparkan literasi keuangan dianggap sebagai penyebab utama dari stagnasi pertumbuhan sektor asuransi, tetapi estimasi awal menunjukkan bahwa hal tersebut bukan satu-satunya.
Untuk mewujudkan ekosistem sektor asuransi yang inklusif dan robust, peran seluruh stakeholder serta faktor-faktor seperti pendapatan, urbanisasi, supply-chain, preferensi konsumen, & kepercayaan publik merupakan hal yang sangat penting, jika tidak yang terpenting.
Dalam kurun waktu 5 tahun (2016–2020), pertumbuhan sektor asuransi cenderung terbatas dan kecil dengan hanya beberapa segmen yang memperlihatkan pertumbuhan. Performa yang stagnan ini menimbulkan pertanyaan, terkait apakah yang menyebabkan performa tersebut.
Banyak pelaku industri mengindikasikan bahwa rendahnya tingkat literasi keuangan/asuransi menjadi penyebab utama atas performa tersebut. “Hasil awal estimasi kami menunjukkan bahwa literasi keuangan merupakan salah satu indikator yang penting, sejalan dengan Lin et al. (2017) dan Mare et al. (2019).”
Meskipun begitu, hasil tersebut juga mengindikasikan bahwa literasi keuangan saja tidak dapat menjelaskan pergerakan penetrasi asuransi dengan baik (R–squared 23,78%). Lantas, indikator apa saja yang dapat melengkapi literasi keuangan, jika tidak lebih baik, dalam menjelaskan permintaan produk asuransi? IFG Progress mencoba menjawab pertanyaan tersebut dengan membahasnya dalam kerangka supply dan demand.
Dari berbagai studi literatur yang dikumpulkan, variabel seperti pendapatan, urbanisasi, pendidikan, dan tingkat ketimpangan pendapatan merupakan indikator-indikator yang dapat melengkapi literasi keuangan, jika tidak lebih penting.
IFG Progress menggunakan dua variabel utama, berdasarkan studi literatur yang telah dilakukan, yaitu variabel Income/Pendapatan dan Urbanization/Urbanisasi. Selain itu, juga menggunakan faktor lain, seperti teknologi, supply-chain, dan Trust/Kepercayaan.
Income Factor
Faktor pertama yaitu faktor pendapatan, dari sisi supply, regulasi dalam menentukan premi sektor asuransi di Indonesia diatur dalam POJK 23/POJK.05/2015. Peraturan tersebut mengatur tujuh indikator, mulai dari mortality hingga loss ratio. Akan tetapi, peraturan tersebut tidak mengatur lebih jauh terkait pengecualian atau kriteria khusus dalam menentukan premi, seperti di negara lain.
Di Irlandia misalnya, asuransi kesehatan privat atau Voluntary Health Insurance diregulasi untuk mencapai risk solidarity serta meningkatkan keterjangkauan asuransi. Selanjutnya, dari sisi demand, Affordability Index menunjukkan bahwa secara nasional/umum terdapat peningkatan affordability untuk semua kuartil pendapatan, kecuali untuk kuartal 4.
|Baca juga: Mengenal Waiver Asuransi Solusi Meringankan Beban Nasabah dari Kewajiban Membayar Premi
Hal ini bersumber dari peningkatan pendapatan masyarakat yang lebih tinggi dari peningkatan premi asuransi yang harus dibayarkan. Sehingga, terdapat peningkatan affordability secara nasional. Meskipun begitu, kuartil 4 yang didominasi oleh segmen daerah-daerah dengan tingkat pendapatan 25% teratas, mengalami penurunan affordability. Mengindikasikan bahwa peningkatan biaya asuransi yang lebih tinggi dari peningkatan pendapatan.
Selanjutnya, dari sisi perbandingan antarsegmen konsumen, data menunjukkan hasil yang berbanding terbalik. Terlepas dari peningkatan yang dialami, baik dari sisi health insurance maupun live & general insurance, gap antarsegmen semakin membesar.
Di kategori health insurance, pada tahun 2021, rata-rata pengeluaran bulanan per kapita segmen urban – berada di angka Rp37.026. Sedangkan untuk segmen rural, rata-rata pengeluaran bulanan per kapita berada di level Rp20.409. Artinya, terdapat gap Rp16.617 atau sekitar ±81,4%.
Di kategori kedua, yaitu live & general insurance, pada tahun 2021, rata-rata pengeluaran bulanan per kapita segmen urban berada di angka Rp3.426. Sedangkan untuk segmen rural, rata-rata pengeluaran bulanan per kapita berada di level Rp627. Artinya, terdapat gap Rp2.799 atau sekitar lebih dari 5X lipat.
Urbanization Factor
Urbanisasi, dari sisi supply, mayoritas pendapatan premi sektor asuransi jiwa masih bersumber dari kanal distribusi tradisional, yaitu Bancassurance, Agen, dan Direct Marketing. Terlebih lagi, persebaran Bancassurance (melalui Kantor Cabang Umum & Pembantu (KCU & KCP)) yang memiliki porsi ±44% -±53%, mayoritas berada di Pulau Jawa (±57%) & Sumatera (±20%).
Di sisi sektor asuransi umum, pola serupa juga terlihat dimana mayoritas pendapatan premi bersumber pada kanal distribusi tradisional. Badan Usaha Bukan Bank (BUSB) yang memiliki porsi ±45%-±58%, terdiri dari Broker (±37%) dan Leasing (±15%). Pendapatan premi yang bersumber dari pemasaran digital pada asuransi umum hanya sebesar <1% (±0,7%, menurun dibanding 2020 (±4,4%).
Dari sisi demand, berdasarkan pemetaan dan distribusi penduduk, proporsi penduduk yang berada di pulau nonJawa berkisar di antara ±43% -±46%. Selain itu, jika dilihat berdasarkan distribusi ‘Urban Poor’, proyeksi juga menunjukkan tren peningkatan ‘Urban Poor’ setiap tahunnya. Mengindikasikan bahwa urbanisasi yang terjadi tidak semerta-merta meningkatkan pendapatan masyarakat, bahkan sebaliknya.
Dengan karakteristik tersebut, Perusahaan asuransi tidak dapat bergantung pada kanal distribusi tradisional yang tidak inklusif dan berpusat di Pulau Jawa. Untuk mencapai dan melingkup distribusi penduduk yang berada di non-Jawa dan segmen ‘Urban Poor’, Omnichannel Distribution dengan memanfaatkan pemasaran digital menjadi sangat penting dan krusial.
Supply Chain and Consumer Preference
Di bagian supply-chain, dengan adanya tren dunia yang bertransformasi ke-arah digital semenjak Covid-19, perusahaan asuransi dapat memanfaatkan hal tersebut sebagai katalisator dalam merubah bisnisnya. Perusahaan–perusahaan asuransi memiliki kesempatan besar untuk melebarkan cakupan produknya melebihi kanal distribusi tradisional seperti Bancassurance dan Agen.
Kesempatan untuk mengadopsi teknologi, didukung oleh framework regulasi yang flexible, dapat merevolusinasi supply-chain dan meningkatkan efisiensi seluruh sektor. Hal ini dapat menekan frictional cost dalam transaksi serta mengurangi harga produk asuransi sehingga menjadi lebih affordable.
Dari sisi demand, berdasarkan survei konsumen yang dilakukan oleh Swiss Re di tahun 2020, sebanyak hampir ±60% konsumen yang disurvei memilih kanal online dibandingkan dengan offline untuk penggunaan aplikasi. Di sisi lain, konsumen juga lebih memilih kanal online dalam membantu memilih dan menyeleksi premi antar produk asuransi. Sehingga, premium competitiveness menjadi lebih baik dari kanal offline.
|Baca juga: AM Best Pertahankan Outlook Reasuransi Global pada Tingkat Stabil
Selain itu, dalam hal kemudahan dalam pengajuan klaim serta pemilihan produk yang tepat, konsumen Indonesia yang disurvei juga lebih memilih kanal online dibandingkan dengan offline. Akan tetapi, meskipun konsumen sebagian banyak memilih kanal online, masih banyak pula konsumen yang lebih memilih saluran distribusi offline sebagai sarana untuk lebih memahami istilah dan keterangan kebijakan polis yang mereka beli.
Kondisi porsi konsumen yang mulai beralih ke-arah pendekatan yang lebih digital, mendorong opsi Omnichannel, menjadi sangat relevan. Campuran antara sistem digital dan fasilitas fisik yang baik akan saling melengkapi dan memicu peluang cross dan up-selling. Transformasi sektor asuransi dengan menggunakan kanal distribusi Omnichannel dapat menjadi kunci perkembangan sektor asuransi ke depannya.
Special Brief On Trust
Berdasarkan Guiso (2012) dan Guiso (2021)7 lewat studinya, terdapat korelasi positif antara tingkat kepercayaan/trust seorang individu terhadap tingkat cakupan asuransi bisnis mereka. Salah satu kunci dari kepercayaan ini adalah kepuasan konsumen terhadap perusahaan asuransi, yang mana sangat dipengaruhi oleh kualitas dan perilaku perusahaan asuransi tersebut.
Meminjam data jumlah perusahaan asuransi umum, jiwa, dan reasuransi yang terdaftar serta yang dicabut izinnya, sejak tahun 2006–2019, terdapat 39 yang mengalami pencabutan izin. Dari 39 tersebut, 25 adalah perusahaan asuransi umum, 13 asuransi jiwa, dan 1 reasuransi. Pencabutan ini disebabkan oleh dua alasan, 1) Permasalahan finansial, dan 2) Merger.
Meskipun hal ini hanya merupakan indikasi awal dan diperlukan studi mendalam di Indonesia, perusahaan asuransi yang dicabut akibat permasalahan finansial dan tidak dapat membayarkan kewajiban klaimnya dapat memupuk ketidakpercayaan masyarakat. Sesuatu yang harus dihindari untuk mendorong sektor asuransi Indonesia secara keseluruhan.
Editor: Achmad Aris
| Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News