1
1

Asuransi Siber Adalah Kebutuhan Pokok

Perlindungan serangan siber. | Foto: freepick.com

Aksi bak bunyi alarm yang mengingatkan kita semua terhadap adanya risiko kejahatan siber. Terkadang memang kesadaran mengenai pentingnya sesuatu itu muncul setelah terjadinya suatu peristiwa hacker Bjorka yang melakukan peretasan terhadap data pribadi sejumlah pejabat di negeri ini, yang merugikan. Misalnya, kita baru menyadari pentingnya menjaga kesehatan setelah kita sakit, atau kita baru menyadari pentingnya keberadaan seseorang setelah ketiadaannya.

Banyak dari kita yang tidak menyadari bahwa perkembangan teknologi dan internet yang begitu pesat saat ini memiliki risiko kejahatan siber yang berpotensi merugikan baik secara finansial maupun non-finansial. Di era digitalisasi ini, hampir semua aktivitas keuangan dilakukan secara online melalui smartphone. Coba Anda bayangkan, bagaimana seandainya smartphone Anda diretas dan Anda tidak memiliki polis asuransi siber. Menyeramkan bukan? Tidak hanya ancaman bagi individu, serangan siber juga mengancam pada perusahaan atau pelaku bisnis.

Survei bertajuk The 2021 Future of Cyber yang dirilis oleh Deloitte menemukan bahwa peningkatan serangan siber didorong oleh adanya transformasi digital organisasi. Menurut survei tersebut, sebanyak 69 persen pemimpin global mengatakan akan ada serangan siber yang signifikan di perusahaan mereka pada tahun 2021. Pasalnya, pandemi Covid-19 telah mengakselerasi perusahaan-perusahaan untuk melakukan transformasi digital. Sementara itu, sebanyak 72 persen responden menyatakan bahwa organisasi mereka telah mengalami setidaknya 1 dari 10 insiden pelanggaran serangan siber sepanjang 2020.

Ancaman serangan siber ini memang nyata dan memiliki dampak buruk bagi perusahaan seperti hilangnya pendapatan, denda peraturan, hilangnya reputasi, gangguan operasional, hingga kehilangan pelanggan. Bahkan dalam kasus pelanggaran data, laporan IBM mengungkapkan biaya pelanggaran data pada tahun 2021 naik dari US$3,86 juta menjadi US$4,24 juta atau biaya rata-rata tertinggi dalam 17 tahun terakhir.

Senada, Riset Allianz Risk Barometer 2022 juga menempatkan ancaman serangan siber meliputi serangan ransomware, pelanggaran data, dan pemadaman TI sebagai kekhawatiran terbesar pelaku bisnis secara global ketimbang risiko akibat pandemi dan rusaknya rantai pasokan. Khusus di Asia Pasifik, risiko cyber incident juga menempati peringkat pertama risiko utama yang dikhawatirkan oleh pelaku bisnis dengan 40 persen responden.

Survei yang dilakukan oleh Munich Re pada 2022 terhadap eksekutif senior juga menunjukkan peningkatan kesadaran terhadap risiko yang ditimbulkan oleh serangan siber. Peningkatan tersebut belum pernah terjadi dibandingkan dengan survei-survei sebelumnya. Sebanyak 38 persen dari eksekutif C level menyatakan sangat khawatir terhadap ancaman siber. Angka tersebut lebih tinggi dibandingkan dengan hasil survei sebelumnya yang hanya 30 persen. Sementara itu, eksekutif senior yang berpendapat ‘prihatin’ persentasenya naik menjadi 70 persen.

Risiko-risiko siber yang semakin meningkat tersebut pada dasarnya bisa dimitigasi melalui produk asuransi siber (cyber insurance). Produk asuransi siber sendiri sebenarnya telah muncul sejak tahun 1990-an seiring dengan berkembangnya teknologi dan internet. Di Amerika Serikat, pada awalnya polis asuransi siber mencakup media online dan kesalahan dalam pemrosesan data (errors in data processing/EDP). Lalu pada awal tahun 2000-an, polis asuransi siber mulai menanggung risiko akses tidak sah, keamanan jaringan, kehilangan data, dan klaim terkait virus computer. Dan saat ini cakupan polis asuransi siber pun sudah berkembang yaitu tidak hanya melindungi pihak pertama tetapi juga pihak ketiga (third party liability).

Di Indonesia, kini banyak perusahaan asuransi umum yang telah menjual produk asuransi siber. Bahkan, sudah hadir produk asuransi siber untuk perorangan alias asuransi siber pribadi. Produk asuransi yang dipelopori oleh BCA Insurance ini memberikan perlindungan terhadap tindakan kejahatan siber termasuk kerugian dan pengeluaran finansial yang diakibatkan langsung oleh serangan siber. Adapun serangan siber yang dimaksud antara lain transaksi pembayaran via internet, belanja online, serta biaya administrasi pencurian identitas online.

Seiring dengan meningkatnya kesadaran terhadap pentingnya asuransi siber tersebut, tak heran bila Adroit Market Research memperkirakan pasar asuransi siber global akan tumbuh pada tingkat pertumbuhan per tahun alias CAGR (Compound Annual Growth Rate) sebesar 22,43 persen pada periode 2019-2022 dengan nilai pasar mencapai US$38,65 miliar pada tahun 2029. Serangan siber yang berlebihan dan pelanggaran data yang terjadi di seluruh dunia diyakini akan mendorong penetrasi pasar asuransi siber global.

Di era digitalisasi ini tentu asuransi siber bukan lagi sebagai kebutuhan sekunder atau tersier, tetapi sudah menjadi kebutuhan pokok yang harus dipenuhi baik oleh masyarakat maupun pelaku bisnis.

| Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Related Posts
Prev Post Mengoptimalkan Peran Dana Pensiun
Next Post Kondisi Dana Pensiun Indonesia dan Tantangannya

Member Login

or