Media Asuransi, JAKARTA – Pemerintah menegaskan bahwa penggunaan Nomor Induk Kependudukan (NIK) sebagai Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) untuk Wajib Pajak Orang Pribadi (WP OP) tidak menyebabkan secara otomatis pemilik NIK dikenai Pajak Penghasilan (PPh).
Direktur Jenderal Pajak Kementerian Keuangan, Suryo Utomo, mengatakan bahwa penggunaan NIK sebagai NPWP untuk WP OP merupakan langkah strategis pemerintah dalam melakukan reformasi basis data kependudukan yang terintegrasi dan terpadu.
“Penggunaan NIK sebagai nomor identitas perpajakan tidak menyebabkan seseorang secara otomatis dikenai PPh,” tegasnya.
Dia menjelaskan hal ini karena ketentuan mengenai pemenuhan kriteria subjek dan objek PPh tetap berlaku, sehingga seseorang yang belum memiliki penghasilan atau memiliki penghasilan di bawah PTKP tetap tidak dikenai PPh. PPh hanya dikenakan ketika penghasilan yang diperoleh telah melebihi PTKP.
|Baca juga: RUU HPP: NIK Dianggap Sebagai NPWP
Menurutnya, NIK tidak hanya digunakan untuk kebutuhan data perpajakan. Pemerintah telah memanfaatkan NIK sebagai data rujukan untuk pemberian berbagai bantuan sosial, antara lain Program Keluarga Harapan dan Program Kartu Sembako, bantuan yang diberikan bagi keluarga miskin dan rentan.
“Dengan integrasi data tersebut, pemerintah dapat menyalurkan program-program produktif dan bantuan sosial lainnya dengan lebih tepat sasaran dan efektif dalam mencapai tujuannya,” jelasnya.
Ketentuan NIK menjadi pengganti NPWP ini termaktub dalam UU Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP) yang baru disahkan. Dalam UU HPP ini pemerintah melakukan sejumlah reformasi PPh baik secara kebijakan maupun administrasi.
“Tujuan utama reformasi PPh dalam UU HPP adalah membentuk sistem PPh yang lebih berkeadilan dan berkepastian hukum sehingga dapat memperluas basis pajak serta meningkatkan kepatuhan wajib pajak. Upaya ini dilakukan dengan tetap menjaga keberpihakan terhadap kepentingan masyarakat luas dan dinamika perekonomian di masa depan,” kata Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan, Febrio Kacaribu.
Lebih lanjut, Suryo menegaskan bahwa UU HPP ditujukan untuk meningkatkan keberpihakan kepada WP UMKM. Hal ini dilakukan melalui pemberian insentif berupa batasan Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) atas peredaran bruto WP OP UMKM sampai Rp500 juta setahun. “Artinya, WP OP UMKM yang memiliki peredaran bruto sampai dengan Rp500 juta setahun tidak membayar PPh,” ungkap Suryo.
Lebih lanjut, Suryo mengatakan bahwa WP Badan UMKM tetap mendapatkan fasilitas diskon tarif PPh 50% sesuai Pasal 31E UU PPh. Dukungan perpajakan ini diharapkan dapat meningkatkan daya tahan dan daya saing usaha UMKM di Indonesia.
Penghasilan Kena Pajak
Selanjutnya, UU HPP memperbaiki progresivitas tarif PPh OP dengan memperlebar rentang lapisan Penghasilan Kena Pajak (PKP) untuk tarif PPh OP terendah (5%) dan menambah lapisan tarif PPh OP tertinggi (35%).
Pemerintah menyepakati usulan DPR RI untuk memperlebar rentang lapisan Penghasilan Kena Pajak (PKP) OP yang dikenai tarif PPh terendah (5%) dari Rp50 juta menjadi Rp60 juta.
Pemerintah tetap memberikan batasan PTKP bagi WP OP yang saat ini ditetapkan sebesar Rp4,5 juta per bulan atau Rp54 juta per tahun untuk OP lajang, tambahan sebesar Rp4,5 juta setahun diberikan untuk WP yang kawin, dan tambahan sebesar Rp4,5 juta setahun untuk setiap tanggungan, maksimal 3 orang.
|Baca juga: Reformasi PPN untuk Lebih Adil dan Tepat Sasaran
Dengan demikian, masyarakat dengan penghasilan sampai dengan Rp4,5 juta per bulan tetap tidak terbebani dengan PPh. Sementara masyarakat dengan penghasilan menengah beban pajak penghasilannya menjadi lebih ringan.
Di sisi lain, UU HPP juga menetapkan tarif PPh OP sebesar 35% untuk lapisan PKP di atas Rp5 miliar. Hal ini tentunya selaras dengan prinsip kemampuan bayar (ability to pay) atau gotong royong. Di mana masyarakat yang berpenghasilan rendah dilindungi, sedangkan yang berpenghasilan tinggi membayar pajak yang lebih tinggi.
UU HPP juga memberikan pengaturan ulang perlakuan perpajakan atas pemberian natura (fringe benefit) agar sistem PPh semakin adil. Untuk pegawai atau kalangan tertentu, UU HPP mengatur pemberian natura menjadi objek pajak bagi penerimanya. Di sisi lain, pemberian natura tersebut dapat menjadi biaya dalam penghitungan pajak bagi perusahaan yang memberikannya.
Untuk tetap memberikan keadilan bagi masyarakat, beberapa jenis natura tidak dikenakan pajak sebagaimana diatur di UU HPP. Jenis natura tersebut yakni, penyediaan makanan atau minuman bagi seluruh pegawai, pemberian natura di daerah tertentu, penyediaan natura karena keharusan dalam pelaksanaan pekerjaan, natura yang bersumber dari dana APBN atau APBD, dan natura dengan jenis dan batasan tertentu.
Selain reformasi PPh orang pribadi, UU HPP juga mengatur ulang tarif PPh badan yang semula direncanakan untuk turun menjadi 20% mulai tahun 2022 menjadi tetap 22%.
Tarif PPh Badan sebesar 22% masih kompetitif serta tetap kondusif dalam menjaga iklim investasi di Indonesia. Khususnya apabila dibandingkan dengan tarif PPh negara lain, seperti rata-rata negara ASEAN (22,17%), OECD (22,81%), Amerika (27,16%), dan G-20 (24,17%).
| Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Penetrasi Asuransi di India Tembus 41% di 2024, Ternyata Ini Rahasianya!
Kamis, 24 April 2025
